Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia bahwa 63,1% masyarakat setuju Pilkada 2020 ditunda bukanlah hal yang mengejutkan. Perludem menyebut mayoritas masyarakat menganggap Pilkada saat pandemi Corona bukanlah prioritas.
"Temuan Indikator ini sebenarnya tidak mengejutkan. Dalam banyak survei sebelumnya baik yang dirilis Litbang Kompas ataupun LIPI, hampir semua menemukan bahwa mayoritas masyarakat menganggap Pilkada di masa pandemi bukanlah suatu prioritas," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada wartawan, Selasa (21/7/2020).
Titi menyebut menyelenggarakan Pilkada saat pendemi adalah sebuah tantangan bagi pemerintah. Titi mengungkapkan pemerintah harus mengantisipasi keragu-raguan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilihan saat pendemi ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu ini jadi tantangan besar bagi penyelenggara pemilu dan pemerintah. Selain berhadapan dengan upaya untuk mencegah penularan COVID-19 dalam aktivitas penyelenggaraan Pilkada 2020, mereka juga harus mengantisipasi skeptisme masyarakat atas Pilkada itu sendiri," kata dia.
Pelaksanaan Pilkada akhir tahun ini, menurut Titi, bukanlah keputusan yang tanpa kontroversi. Titi menyebut banyak pihak yang menginginkan agar Pilkada ditunda hingga 2021.
"Keputusan melaksanakan Pilkada pada 9 Desember 2020 bukanlah keputusan yang tanpa kontroversi. Sejak awal sudah banyak suara untuk menunda Pilkada ke pertengahan 2021. Namun kan pemerintah khususnya bergeming. Tetap kukuh dengan pendiriannya. Pemerintah memang dalam hal ini nampak ngotot harus ada Pilkada, dengan Penyelenggara Pemilu yang juga cenderung mengamini rencana itu," tuturnya.
Titi mengatakan pemerintah dan penyelenggara pemilu harus bekerja ekstra dalam Pilkada ini. Dia menyebut pemerintah harus meyakinkan rakyat bahwa Pilkada COVID aman dan sehat.
"Maka ke depan penyelenggara dan pemerintah harus bekerja maksimal meyakinkan dan memastikan masyarakat pemilih mau ambil bagian dalam pelaksanaannya. Bukan hanya meyakinkan bahwa Pilkada ini sehat, tapi juga bahwa Pilkada tidak akan mengganggu pemulihan ekonomi dan sosial masyarakat yang terdampak akibat COVID-19," katanya.
"Selain harus meyakinkan bahwa Pilkada kali ini aman dan sehat juga perlu secara maksimal meyakinkan pemilih bahwa Pilkada Desember 2020 adalah diperlukan dan signifikan dampaknya bagi masyarakat pemilih. Sebab, kalau masyarakat tidak menganggap Pilkada ini penting, maka sangat mungkin pemimpin yang tidak kredibel serta tidak kompeten akan terpilih memimpin daerah," sambungnya.
Lebih lanjut, Titi berharap pemerintah tidak terlalu dominan dalam pelaksanaan Pilkada. Dia menyebut kemandirian KPU harus dihormati.
"Akan tetapi tetap harus diingat, penyelenggara pemilu itu adalah leading sector dalam penyelenggaraan Pilkada. Pemerintah juga harus mawas diri untuk tidak terlalu dominan dalam mengatur atau mengendalikan pelaksanaan Pilkada 2020. Kemandirian KPU harus dihormati dan tak boleh dicederai," tandasnya.
Sebelumnya, Lembaga Indikator Politik merilis mayoritas publik ingin pelaksanaan Pilkada pada Desember nanti ditunda. Survei dilakukan menggunakan wawancara melalui telepon kepada 1.200 responden pada 13-16 Juli dengan metode simple random sampling. Margin or error pada survei ini kurang-lebih 2,9% pada tingkat kepercayaan sebesar 95%.
"(Sebanyak) 63,1% menyatakan sebaiknya ditunda, 34,3% ingin tetap dilaksanakan di bulan Desember," ungkap Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi saat merilis hasil survei melalui diskusi daring bertema 'Perubahan Opini Publik terhadap COVID-19: Dari Dimensi Kesehatan ke Dimensi Ekonomi', Selasa (21/7/).