Istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran, menang di MK dalam waktu 56 hari, saat sidang lain bisa memakan waktu berbulan-bulan. MK punya penjelasan.
Latar belakangnya, Djoko dilepaskan oleh PN Jaksel dan di tingkat kasasi dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Jaksa, yang tidak terima, mengajukan PK dan dikabulkan MA. Djoko dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana 2 tahun penjara.
Oleh sebab itu, Anna mengajukan permohonan penafsiran ke MK bahwa jaksa tidak berhak mengajukan PK. Berikut ini sidang supercepat yang digelar MK sebagaimana dikutip dari putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, Jumat (17/7/2020):
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
17 Maret 2016
Anna mendaftarkan judicial review di MK dengan penerimaan berkas permohonan Nomor 55/PAN.MK/2016. Anna memberikan kuasa permohonan itu Kantor Hukum Syamsu Hamid & Partners. Anna meminta MK menafsirkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Pasal itu berbunyi:
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Anna meminta pasal itu ditafsirkan bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan peninjauan kembali (PK).
21 Maret 2016
Permohonan itu telah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi dengan Nomor 33/PUU-XIV/2016
4 April 2016
Anna memperbaiki permohonan.
12 Mei 2016
Setelah 56 hari melakukan proses, MK memenangkan Anna. Dalam putusan MK itu, tidak tertulis adanya jawaban pemerintah/DPR atau kejaksaan sebagai pihak terkait. Tidak pula ada tercantum apakah ada ahli yang memberikan keterangan di persidangan MK atau tidak.
"Mengabulkan permohonan Pemohon. Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo," demikian bunyi Putusan MK.
Menurut MK, ketika peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum diterima, sesungguhnya telah terjadi dua pelanggaran prinsip dari peninjauan kembali itu sendiri. Pertama, pelanggaran terhadap subjek dan objek peninjauan kembali. Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek peninjauan kembali menurut undang-undang adalah terpidana atau ahli warisnya.
"Sementara itu, dikatakan ada pelanggaran terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dijadikan objek peninjauan kembali," papar MK.
6 Mei 2016
Putusan MK itu membuat geger. Jaksa Agung saat itu, Prasetyo, menegaskan tetap akan mengajukan PK meski hal itu sudah dilarang oleh MK. Kejaksaan berpegang pada yurisprudensi dari Mahkamah Agung (MA).
"MA memberi akses untuk kita memberikan PK dari putusan yang mereka keluarkan atau yurisprudensi. Ke depan, kami akan tetap ajukan PK karena jaksa mewakili kepentingan korban kejahatan dan negara," kata Prasetyo.
Juni 2020
Djoko Tjandra yang statusnya buron datang ke PN Jaksel mendaftarkan PK.
1 Juli 2020
Kuasa hukum Djoko, Andi Putra Kusuma, mengatakan Djoko Tjandra mendaftar langsung ke PN Jakarta Selatan melalui pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Salah satu bukti PK adalah putusan MK di atas.
"Kita mengajukan PK dasarnya itu ada karena dua putusan yang bertentangan. Di satu sisi putusan PK Nomor 12 pertimbangannya itu dikabulkan dianggap jaksa berwenang mengajukan PK atas pertimbangan jaksa tidak ada aturan yang jelas bahwa jaksa tidak boleh mengajukan PK, sedangkan di dalam putusan MK Nomor 33 itu jelas disebutkan tidak ada pihak lain selain terpidana maupun ahli warisnya yang dapat mengajukan PK," ungkap Andi di kantornya, Jalan TB Simatupang, Cilandak.
Satu per satu, pelarian Djoko Tjandra terungkap dan bikin geger jagat hukum Indonesia.
Tonton video 'Kuasa Hukum Djoko Tjandra Datangi Bareskrim Polri, Ada Apa?':
Penjelasan MK
Istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran, mengajukan permohonan penafsiran KUHAP ke MK bahwa jaksa tidak berhak PK dan Anna menang. Putusan MK berjalan cepat karena tidak meminta pemerintah dan DPR untuk diperdengarkan pendapatnya. Kejaksaan Agung sebagai pihak terkait juga tidak diminta keterangan oleh MK.
"Kalau MK memandang persoalan konstitusionalitas sudah sangat jelas, MK bisa dan boleh memutus tanpa keterangan pihak-pihak lain," kata juru bicara MK, Fajar Laksono, kepada detikcom, Jumat (17/7/2020).
Hal itu sesuai dengan Pasal 54 UU MK. Pasal 54 berbunyi:
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden.
MK dapat meminta atau tidak meminta keterangan MPR/DPR/Presiden tergantung urgensi dan relevansinya.
"Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan a quo telah jelas, Mahkamah akan memutus permohonan a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau meminta risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden," demikian bunyi putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 atas nama pemohon Anna Boentaran.
MK bisa saja berasumsi permasalahan hukum Djoko Tjandra sudah jelas. Tapi, faktanya, putusan itu membuat Kejaksaan Agung (Kejagung) terkaget-kaget. Jaksa Agung saat itu, Prasetyo, menegaskan tetap akan mengajukan PK meski hal itu sudah dilarang oleh MK. Kejaksaan berpegang pada yurisprudensi dari Mahkamah Agung (MA).
"MA memberi akses untuk kita memberikan PK dari putusan yang mereka keluarkan atau yurisprudensi. Ke depan kami akan tetap ajukan PK karena jaksa mewakili kepentingan korban kejahatan dan negara," kata Prasetyo.