Siang hari adalah saat yang terang, maka sesungguhnya setiap kendaraan bisa mengantisipasi kendaraan lain, termasuk kendaraan di belakangnya melalui kaca spion. Namun karena ukuran dan bentuk sepeda motor yang mudah melakukan akselerasi di jalan, serta bentuk sepeda motor relatif lebih kecil, maka sering kali pengendara lain tidak bisa mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di belakangnya maupun dari depan dengan jarak yang masih relatif jauh.
Lebih lanjut lagi sepeda motor dapat dengan mudah melintas maupun mendahului kendaraan di depannya. Dengan kewajiban pengendara sepeda motor menyalakan lampu utama pada siang hari, maka pengendara kendaraan lain di depan motor tersebut dengan mudah dapat mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di sekitarnya atau yang sedang atau akan melintas.
"Di samping alasan tersebut, sinar lampu utama dari sepeda motor akan dipantulkan dari kaca spion kendaraan yang berada di depannya sehingga kendaraan bisa mengantisipasi adanya sepeda motor yang ada di belakangnya, dan dalam batas penalaran yang wajar, hal ini dapat menghindari terjadinya kecelakaan," cetus MK.
MK menyatakan jumlah pengendara sepeda motor semakin meningkat dan angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor juga semakin tinggi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di pelbagai belahan dunia.
Oleh karena itu aturan untuk menyalakan lampu kendaraan bagi pengendara sepeda motor pada siang hari juga diterapkan di negara lain, seperti di Malaysia, India, dan Kanada, termasuk negara-negara Uni Eropa (bukan hanya negara Nordik).
"Penerapan aturan menyalakan lampu kendaraan pada siang hari (baik daytime running light maupun automatic headlamp on) di pelbagai belahan dunia kini semakin digalakkan, dari tingkatan 'imbauan' sampai dengan tingkatan 'kewajiban'," cetus MK.
Dalam keadaan gelap (malam hari dan kondisi tertentu), semua pengendara wajib menyalakan lampu utama. Dan dalam keadaan terang hanya sepeda motor yang wajib menyalakan lampu utama.
Dengan demikian menurut MK, maka makna 'siang hari' haruslah dilekatkan dengan keadaan pada saat hari sedang terang. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam konteks norma a quo tidak diperlukan pembagian pagi-siang-petang/sore untuk memaknainya.
"Bahwa frasa 'malam hari' dalam KUHP yang dimaksudkan adalah ketika antara matahari mulai terbenam hingga matahari terbit. Oleh karena itu, frasa 'siang hari' dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ ekuivalen dengan frasa 'malam hari' dalam KUHP. Dengan demikian, dapat dimaknai siang hari adalah waktu ketika matahari terbit sampai matahari terbenam," pungkas MK.
Dalam permohonannya, Eliadi dan Ruben mencontohkan kasus Joko Widodo saat kampanye Pilpres tidak menyalakan lampu di siang hari tapi tidak ditilang. Namun MK tidak membahas hal itu dalam putusan tersebut.
(asp/tor)