Ketua Badan Pengawas PP Keluarga Besar Tamansiswa, Ki Prijo Mustiko, menyebutkan saat itu benar-benar terjadi musyawarah antar-bapak bangsa. Untuk mengisi perisai lambang negara, Natsir mengusulkan lambang bintang. "Itu sebetulnya lambang nur, lambang Ilahi," ujar Priyo kepada detikcom, Rabu (17/6/2020).
Sementara itu, rantai diusulkan Sultan Hamid II. Rantai ini menyerupai kalung milik suku Dayak. Budayawan Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka mengusulkan gambar pohon. Ternyata ini bukanlah pohon beringin. "Pohon tersebut namanya astana. Pohon imajiner," kata Prijo.
Muhammad Yamin kemudian mengusulkan gambar banteng. Ki Hajar Dewantara, ketua panitia pertama penyelidikan lambang negara, memberi usul gambar padi dan kapas, yang melambangkan keadilan sosial. "Keadilan sosial itu berarti tercukupinya sandang, pangan, dan papan," ujar Prijo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendiri Museum Rumah Garuda, Nanang Rahmat Hidayat, mengatakan perdebatan dan diskusi anggota panitia lambang negara sangat menarik. Anggota panitia ini berasal dari beragam kelompok dan ideologi, namun berhasil berkompromi dalam merumuskan sebuah lambang negara yang diterima semua kalangan. "Ini teladan yang tidak bisa kita temui saat ini," ujar dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Bung Karno akhirnya memperkenalkan lambang negara itu di Hotel Des Indes. Kemudian pada rapat Parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS, pada 11 Februari 1950. Lambang ini bahkan sudah tergantung di belakang podium Istana Merdeka, Pejambon.
Lagi-lagi Presiden Sukarno belum merasa puas pada lambang tersebut. Kepala burung itu memang gundul. Bung Karno meminta bentuk kepala itu diubah menjadi berjambul. Sukarno meminta seorang pelukis Istana Negara bernama Dullah untuk menggambar jambul tersebut. Saat itu pelukis kelahiran Solo, Jawa Tengah, 17 September 1919, itu baru saja menginjakkan kaki di Istana Negara di Jakarta.