"Kedua, model demokrasi kita yang seperti saat ini masih mudah. Dihitung dari awal reformasi baru 20-an tahun. Karena itu, biarkan ruang demokrasinya agak luas agar oligarki politik seperti masa sebelum reformasi itu tidak terulang," ucap Arsul.
Terakhir, alasan PPP menolak ambang batas dinaikkan agar partai politik di parlemen lebih banyak dan variatif. Hal itu, menurut Arsul, lebih baik daripada menaikkan ambang batas dan mempersempit ruang partai politik.
"Ketiga, lebih banyaknya partai yang ada di DPR juga akan membuat peluang checks and balances terhadap kekuatan politik kita juga bisa lebih baik. Karena tidak hanya segelintir parpol saja yang kuasai fungsi legislatif di negara ini," imbuhnya.
Sebelumnya, Komisi II DPR RI akan merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Beberapa hal yang akan dikaji adalah soal angka ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dari yang saat ini 4% dinaikkan menjadi 7%.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa menyebut ada beberapa alternatif besaran angka ambang batas parlemen yang diajukan dalam draf. Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah batas suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk ikut dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
"Kalau di draf-draf itu kita ada 3 alternatif ya. Alternatif pertama ada yang 7% dan berlaku nasional. Alternatif kedua 5% berlaku berjenjang, jadi (DPR) RI 5%, (DPRD) Provinsi-nya 4%, Kabupaten/Kota 3%. Alternatif ketiga tetap 4% tapi provinsi dan kabupaten/kota 0% seperti sekarang," jelas Saan.
(rfs/gbr)