Pelapor dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando menyebut istilah kadrun sebagai istilah yang digunakan PKI untuk mengolok-olok pihak lain. Berdasarkan catatan sejarah, PKI ternyata tidak menyebut musuhnya sebagai kadrun, tapi kabir.
Olok-olok dan pelabelan dari PKI ke musuh-musuhnya ini terkait erat dengan kehidupan petani kecil di masa lalu. Saat itu, PKI sangat ingin melancarkan agenda reforma agraria yang menguntungkan buruh tani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gerry Van Klinken dalam buku 'The Making of Middle Indonesia' menjelaskan perihal kemunculan istilah 'kabir' yang diucapkan PKI untuk mengolok-olok musuhnya. Pada awal dekade '60-an, situasi masyarakat Indonesia diwarnai ketidakpuasan terhadap elite-elite politik. Aparat negara mengumpulkan uang hanya untuk kepentingan pribadi, sementara banyak rakyat tetap miskin. PKI menangkap situasi ini.
Pada 1964, PKI mulai memobilisasi ketidakpuasan rakyat terhadap elite politik. Organisasi kebudayaan PKI bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menciptakan sebuah lagu yang populer soal kapitalis birokrat, disingkat menjadi 'kabir'. Satu lagu yang populer saat itu berjudul 'Ganyang Kabir', karangan Subronto Kusumo Atmodjo, musisi Lekra.
Siapa kabir yang dimusuhi PKI kala itu?
DN Aidit dalam buku 'Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa' menjelaskan kapitalis birokrat (kabir) adalah pihak yang menekan kaum tani untuk menjual hasil produksinya kepada perusahaan-perusahaan kabir di kota dengan menggunakan uang negara. Hubungan kabir terjalin erat dengan kepentingan tuan tanah jahat, tengkulak jahat, dan tukang ijon.
Jadi, kabir adalah birokrat atau elite negara yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat, melainkan berpihak pada kepentingan pribadi atau golongannya. Di zaman sekarang, istilah ini mirip dengan 'pejabat korup'.