Penolakan keras warga terkait program tes cepat COVID-19 terjadi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Selain itu, di daerah episentrum pandemi tersebut terjadi juga pengambilan paksa jenazah pasien dalam pengawasan ataupun positif di sejumlah rumah sakit.
Portal-portal berikut spanduk berisi pesan penolakan banyak dipasang di jalan masuk permukiman hingga gang-gang di berbagai kawasan di Kota Makassar. Seperti warga di Jalan Da'wah, Kelurahan Malimongan, Makassar, yang menuliskan 'Kami warga Da'wah menolak keras!! Rapid tes bukan ladang bisnis'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, mengatakan tiga bulan lebih Indonesia berada dalam masa pandemi COVID-19, seharusnya ada peningkatan kesadaran masyarakat terkait penyakit ini sejalan dengan edukasi yang dilakukan pemerintah. Namun di beberapa tempat justru terjadi hal sebaliknya, seperti di Kota Makassar.
"Kalau masyarakat masih harus dipaksa bahkan sampai menghindar ketika akan dites, berarti ada proses yang salah dengan proses yang dilakukan selama ini. Boleh jadi sampai saat ini pemahaman masyarakat belum utuh terhadap penularan COVID-19," ujar Hermawan pada wartawan, Senin (8/6/2020).
Pengambilan jenazah secara paksa sebenarnya tak hanya terjadi di Kota Makassar. Pada Minggu (7/6) lalu, ratusan pengemudi ojek online di Surabaya mendatangi kamar jenazah RSU dr Soetomo. Mereka mengambil jenazah pengemudi ojol lainnya yang dinyatakan sebagai PDP terkait COVID-19.
![]() |
Simak video 'Jenazah PDP Corona di Makassar Dibawa Kabur Keluarga':
Hermawan menilai tindakan tegas pada penolakan ini sepertinya tidak efektif menyelesaikan masalah. Dalam mengatasi pandemi, keterlibatan dan pelibatan masyarakat secara sadar, proaktif, dan masif merupakan kuncinya.
"Pemerintah daerah tidak bisa counter secara frontal. Tetapi harus secara persuasif. Cara-cara yang keras bukan solusi justru bisa jadi kontraproduktif," ujarnya.
Mengusung konsep kearifan lokal bisa dikedepankan jadi salah satu metode pendekatan. Misalnya dalam penanganan jenazah harus memperhatikan adat kebiasaan di sebuah wilayah.
"Saya melihat ada reaksi penolakan yang sangat ekstrem. Mungkin Pemda harus mempertimbangkan memakai local wisdom," ujar Hermawan.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Suryanto, menilai penolakan di Makassar karena masih ada pemikiran yang berkembang di masyarakat bahwa terjangkit virus Corona merupakan aib.
"Pandangan bahwa terinfeksi COVID-19 ini sesuatu yang tabu masih ada," ujarnya kepada detikcom, Senin (8/6).
![]() |
Begitu juga anggapan bahwa mereka yang meninggal kemudian dimakamkan sesuai dengan protokol penanganan COVID-19 tidak dikebumikan secara layak. "Anggapan ini yang berkembang kemudian memicu tindakan reaktif yang emosional," ujar pengajar di Departemen Sosiologi FISIP Unhas itu.
Pemikiran-pemikiran ini berakumulasi dengan desas-desus ada praktik rekayasa dan membisniskan penanganan COVID-19 yang tersebar dengan cepat melalui media sosial. Karena itu, menurut Suryanto, pemerintah daerah jangan lelah memberi edukasi.
"Edukasi ini harus berulang-ulang diberikan dari level atas sampai tingkat terkecil di RT atau RW," ujarnya.
Dia pun menyatakan tidak sepakat jika penolakan tersebut direspons dengan tindakan tegas. "Tidak bakalan selesai persoalannya. Semakin keras respons yang diberikan pemerintah maka masyarakat akan semakin membangkang," ujar Suryanto.