Pakar UGM Bicara Kendala RI Belum Pakai Kematian COVID Versi Terbaru WHO

Pakar UGM Bicara Kendala RI Belum Pakai Kematian COVID Versi Terbaru WHO

Lisye Sri Rahayu, Lisye Sri Rahayu - detikNews
Rabu, 20 Mei 2020 08:53 WIB
Petugas pemakaman menurunkan peti jenazah pasien COVID-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Senin (30/3/2020). Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto per Senin (30/3/2020) pukul 12.00 WIB menyatakan jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia telah mencapai 1.414  kasus, pasien yang telah dinyatakan sembuh sebanyak 75 orang, sementara kasus kematian bertambah delapan orang dari sebelumnya 114 orang menjadi 122 orang. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Ilustrasi (Foto: ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)
Jakarta -

Pakar epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad mengungkap sejumlah masalah laporan kasus kematian akibat COVID-19 di Tanah Air. Riris menyebut jumlah kematian pneumonia sebelum adanya COVID-19 di Indonesia memang cukup tinggi.

"Indonesia itu kan, gini prevalensi pneumoni yang merupakan salah satu penampakan klinis COVID yang utama itu kan pneumoni. Nah itu prevalensi sebelum ada COVID cukup tinggi," kata Riris saat dihubungi, Selasa (19/5/2020).

"Pneumoni itu bisa disebabkan oleh virus, bisa disebabkan oleh bakteri yang lain. Angka kematian oleh pneumoni non-COVID sebelumnya juga cukup tinggi," imbuhnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Riris mengatakan banyak kasus penderita pneumonia yang meninggal dunia belum diketahui apakah terinfeksi virus Corona atau tidak. Dia juga memaparkan belum ada laporan yang jelas terkait persentase pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal akibat COVID.

"Jadi ketika orang yang kena pneumoni yang kemudian dikategorikan sebagai PDP meninggal itu kan dia pneumoni dia juga bukan karena COVID. Nah ini yang masalahnya adalah seberapa besar sih orang yang meninggal dalam kategori PDP itu yang benar-benar terinfeksi COVID atau karena infeksi yang lainnya itu yang kita tidak tahu. Problemnya di situ," katanya.

ADVERTISEMENT

Riris menyebut penambahan laporan kematian PDP sebagai kematian corona adalah hal yang wajar. Namun masih ada kendali dalam laporan tersebut dan tidak mudah jika serta merta ditambahkan sebagai laporan kematian.

"Jadi memang menambahkan angka kematian PDP sebagai kematian COVID itu juga masuk akal. Tetapi juga ada problemnya sendiri dan itu yang tidak bisa dengan mudah kemudian kita hanya mengatakan ditambahkan atau tidak," kata dia.

Simak video 'Dirjen WHO: Pandemi Corona Lebih dari Sekadar Krisis Kesehatan':

Lebih lanjut, Riris mengatakan dalam menangani sebuah penyakit, penting untuk diketahui angka kematian secara akurat. Sehingga akan didapatkan cara dan prioritas penanganan.

"Artinya angka kematian terkait dengan seberapa berbahayanya penyakit ini. Semakin berbahaya itu kan berati sense of urgency-nya semakin lebih tinggi juga menjadi priotitas untuk penanganannya menjadi lebih penting lagi. Nah yang juga kemudian oleh karena itu penting untuk mengetahui angka kematian secara akurat. Ini menjadi pentingnya di situ," katanya.

WHO memperluas definisi kematian COVID-19 sejak 11 April lalu, yakni lewat laporan perkembangan COVID-19 Nomor 82 (Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) situation report-82). Sejak saat itu, WHO memperluas definisi 'kematian COVID-19'.

"WHO telah mengembangkan definisi berikut untuk melaporkan kematian COVID: kematian COVID-19 yang didefinisikan untuk kepentingan pengawasan adalah kematian akibat penyakit yang kompatibel (cocok) secara klinis dalam suatu kasus yang mungkin COVID-19 atau kasus yang terkonfirmasi sebagai COVID-19," demikian tulis WHO, dikutip detikcom dari situs resminya.


Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto menilai definisi kematian COVID-19 yang disebut WHO itu bukanlah hasil keputusan organisasi itu, melainkan hanya sebatas pendapat dari laporan harian (situation report/sitrep). Maka Indonesia tidak merasa perlu untuk mengikuti definisi itu.Dalam definisi baru mengenai 'kematian COVID-19' ini, ada istilah kematian dari 'probable case (kasus yang mungkin COVID-19)'. Bila ada seseorang yang menyandang 'probable case' itu meninggal, maka kini kematian orang itu dihitung sebagai 'kematian COVID-19'. Sedangkan Indonesia menghitung kematian COVID-19 terbatas pada kematian dari orang yang telah terkonfirmasi positif COVID-19 lewat tes PCR saja.

"Itu adalah pendapat hari itu saja, besoknya sudah tidak ada pendapat itu. Formatnya (pelaporan angka kematian) juga tidak berubah," kata Yuri saat dimintai keterangan oleh detikcom, Senin (18/5).

Halaman 2 dari 2
(lir/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads