Kedua, pemerintah juga perlu membuka data jumlah ODP dan PDP yang meninggal dunia di seluruh Indonesia. Memang tidak semua orang ODP dan PDP yang meninggal dunia pasti sudah terjangkit COVID-19, namun di situasi seperti ini, hal itu perlu dilaporkan sebagai indikator penularan. Muaranya, perkiraan kapasitas rumah sakit dapat diketahui.
"Pemerintah daerah perlu menunjukkan angka suspect COVID-19, ODP, atau PDP, yang masih hidup sekian dan yang mati sekian. Orang-orang itu adalah orang-orang yang sudah ada riwayat kontak. Kalau sudah banyak kematian, artinya penularannya sudah tinggi, rumah sakit sudah overkapasitas," kata Pandu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, pemerintah perlu membuka pengelompokan kasus COVID-19 berdasar klaster. Misal, klaster dansa, klaster seminar keagamaan, atau di luar negeri ada klaster jemaah tablig, klaster Shincheonji, klaster kapal pesiar, dan lain-lainnya.
"Kalau pemerintah punya pelacakan klaster, maka itu perlu dilaporkan. Tidak harus setiap hari dilaporkan, namun tetap perlu dilaporkan secara berkala seperti di Singapura. Dengan demikian, masyarakat akan paham kenapa mereka tidak boleh berkerumun, yakni karena bisa menyebarkan penularan," tutur Pandu.
Baca juga: Data Corona Kini Harus Terbuka |
Transparansi data ini penting untuk kalangan masyarakat, ilmuwan, akademisi, hingga pengambil kebijakan di pemerintahan daerah. Pandu menilai transparansi tidak akan menimbulkan kepanikan.
"Keterbukaan tidak meresahkan, malah yang ditutupi justru bisa meresahkan, karena orang akan berpikir ada misteri apa di balik semua ini. Maka bila tertutup bisa timbul hoax, timbul kabar burung, itu yang bikin meresahkan orang. Kalau terbuka, tak ada lagi orang yang mau bohong bermain data," tutur Pandu.
(dnu/fjp)