Sejumlah keluarga asal Iran yang melarikan diri ke Turki menceritakan keputusan sulit yang mereka hadapi saat mempertimbangkan untuk meninggalkan Iran atau pulang, di tengah ketidakpastian serta ketakutan akibat pemblokiran internet, sensor negara, dan serangan udara mematikan.
"Ketika pengeboman dimulai, kami tidak tahu apakah lingkungan kami saja yang dibom atau seluruh negeri," kata Farnaz, *sebelum gencatan senjata antara Iran dan Israel berlaku.
Seniman Iran-Amerika tersebut sedang mengunjungi keluarganya di Teheran saat serangan Israel berlangsung. Saat itu dan sampai sekarang dia tidak bisa memercayai media pemerintah. Ketiadaan akses internet membuat dirinya seperti terkurung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hari-hari itu terasa seperti hidup di dalam kamar gelap tanpa pintu dan jendela," katanya.
"Saya mendengar suara dan rumor dari luar, tetapi tak ada cara buat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ini adalah perasaan yang tak enak."
Ketika ditemui, Farnaz sedang menunggu penerbangan ke Kota Van, Turki, di salah satu bandara dekat perbatasan Iran.
Van senantiasa menjadi destinasi wisatawan Iran bahkan sebelum perang. Orang-orang datang ke sana untuk berlibur, berbisnis, dan berbelanja.
Di seluruh kota, terdapat banyak restoran, toko, dan agen perjalanan yang menggunakan bahasa Farsi.
Farnaz mengatakan perjalanan darat ke perbatasan Turki dari Teheran sangat menakutkan.
Dia khawatir paspor Amerikanya bisa menjerumuskannya ke dalam masalah.
"Tentara dan polisi menghentikan mobil kami tiga kali, mereka memeriksa tas kami dengan ketat, membuka setiap saku," katanya.
Farnaz memutuskan dia harus meninggalkan Teheran sebelum terlambat, mengingat serangan berat Israel di kota itu.
"Serangan itu mengerikan. Getarannya menakutkan dan jendela-jendela pecah. Guncangannya sangat kuat sampai mengguncang saya di tempat tidur," katanya, seraya mengingat saat serangan udara Israel berlangsung pada Jumat, 13 Juni.
"Saya pikir saya bermimpi buruk, tetapi ketika saya bangun, kami semua terkejut dan ketakutan. Saya menyadari saya tidak bermimpi dan itu semua nyata."
Dia lega meskipun dia tahu bahwa setelah tiba di Turki, AS telah mengebom sejumlah fasilitas nuklir milik Iran.
"Saya jelas mengkhawatirkan kerabat saya," katanya, "tetapi saya senang karena saya percaya ini bisa membantu mengakhiri rezim Iran."
Hanya segelintir orang di bandara atau pintu perbatasan Kapikoy/Razi yang mau diwawancara.
Rezim Iran telah menangkap dan mengeksekusi orang-orang yang dituduh mata-mata negara asing. Perlakuan serupa ditujukan pada orang-orang yang bekerja sama dengan media asing tertentu yang mereka gambarkan sebagai musuh.
Baik orang-orang yang meninggalkan Iran, maupun mereka yang ingin pulang, terbiasa hidup dalam ketakutan, paranoia, dan kebingungan.
Seorang perempuan telah berdiri di pintu perbatasan selama empat jam. Dia menunggu teman-teman dekatnya tiba dari Iran.
"Saya belum mendengar kabar dari mereka karena tidak ada koneksi Internet, tetapi saya berharap mereka akan segera tiba," kata seorang yang menolak untuk disebutkan namanya.
Beberapa jam kemudian, dua perempuan muda akhirnya tiba dan mereka semua berpelukan seraya menangis.
"Mereka menempuh perjalanan panjang, dan sekarang saya ingin mereka bersama saya hingga perang usai," ujar perempuan yang sedari tadi menunggu.
Tetapi tidak semua orang di pintu perbatasan mau keluar dari Iranwalau pintu perbatasan itu buka setiap hari.
"Saya tahu ada perang dan saya khawatir, tapi rumah saya di Teheran, hidup saya ada di sana dan saya harus berada di sana," kata seorang perempuan muda yang bepergian dengan ibunya.
Dia mengatakan bahwa jauh dari rumah membuatnya lebih cemas karena dia mendengar informasi yang membingungkan dan tidak tahu siapa yang bisa dipercaya.
Perasaan serupa dipaparkan seorang pengusaha berusia 26 tahun yang telah menyeberang ke Turki sehingga dia bisa kembali bekerja di Kanada.
"Saya pikir orang-orang khawatir sekali dan panik karena mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di negara ini dan mereka memiliki sedikit informasi mengenai situasi tersebut karena hal itu dirahasiakan dari publik," ujarnya.
Dia mengaku khawatir dengan apa yang akan terjadi pada kakeknya dan kerabat lainnya di Teheran.
Dia bersama ibunya, Nazi.
"Kami sangat marah," kata Nazi tentang serangan udara AS.
"Ini kabar buruk."
Dia menemani putrinya ke bandara tetapi kemudian akan kembali ke Teheran.
"Sebagai sebuah bangsa, kami selamat dari perang Iran-Irak, dan itu jauh lebih buruk, jadi saya percaya ini juga akan berlalu."
*Nama-nama telah diubah
- Trump kecam Israel dan Iran, tuduh keduanya langgar gencatan senjata
- Puluhan WNI yang dievakuasi dari Iran dipulangkan secara bertahap ke Indonesia
- 'Mereka merayakan kematian keluarga saya' Kemarahan seorang ayah ungkap perpecahan masyarakat Israel
Simak juga Video Trump: Perang Israel Vs Iran Bisa Meledak Lagi