Komisioner KPU Evi Novida Ginting kaget dan tidak terima dipecat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Selain memecat Evi, DKPP memberikan kartu kuning kedua bagi semua anggota KPU dalam kasus itu.
Menurut Evi, putusan DKPP cacat hukum. Pertama, pengadu, yaitu Hendri, telah mencabut permohonannya ke DKPPP. Namun DKPP tetap melanjutkan persidangan tersebut.
"DKPP tidak bisa memeriksa pemeriksaan etik secara pasif. Pencabutan pengaduan menjadikan DKPP tidak mempunyai dasar melakukan pengadilan etik. DKPP sudah melampaui kewenangan UU sebagai lembaga peradilan etik yang pasif," kata Evi dalam jumpa pers yang juga disiarkan secara online, Kamis (19/3/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan lainnya, sengketa perolehan suara Hendri sudah diselesaikan lewat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh sebab itu, KPU tinggal melaksanakan tanpa memberikan tafsir ulang atas putusan MK itu.
"Putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat. KPU RI tidak berwenang menafsirkan, hanya melaksanakan apa adanya," beber Evi.
Cacat putusan KPU yang dinilai fatal adalah keputusan itu diambil oleh 4 orang anggota KPU. Padahal seharusnya dilakukan oleh majelis ganjil/lima orang.
Karena merasa benar, Evi akan melakukan langkah-langkah hukum melawan putusan DKPP itu. Sebab, ia tidak ingin apa yang dialaminya akan juga dialami oleh penyelenggara pemilu lain di berbagai daerah.
"Saya akan mengajukan gugatan pembatalan putusan DKPP agar membatalkan tersebut," kata Evi.
Sebagaimana diketahui, gugatan itu diajukan oleh anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat Hendri Makaluasc. Dalam gugatannya, Hendri, yang merupakan caleg nomor urut 1, menyebut terjadi penggelembungan suara di 19 desa pada Dapil Kalimantan Barat 6. Penggelembungan suara ini terjadi pada perolehan suara caleg nomor urut 7, Hendri Ramapon. Namun sengketa itu telah diputus oleh MK.