Menuju Pillpres 2024
Terlepas dari kasus hukumnya, ada konteks yang melatarbelakangi hal itu, yakni perkara dukung mendukung, perkara pro dan anti, atau perkara cinta dan benci terhadap politikus. Pemerhati politik menelaah munculnya gejala fanatisme kelompok pendukung Anies dan kelompok pendukung Risma di tataran masyarakat non-elite.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kira ini ada perebutan pemilih oleh elite politik, memperebutkan suara untuk 2024," kata pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun, kepada wartawan, Selasa (4/2/2020).
Riak-riak di akar-rumput itu ditengarainya merupakan pertanda terbukanya jalan menuju Pilpres 2024. Konflik-konflik itu tidak muncul di ruang hampa, melainkan digerakkan elite-elite yang entah siapa, Rico tak merinci. Yang jelas, yang masuk penjara bukanlah elite melainkan non-elite. Ada pula konsekuensi dari UU ITE yang sebelumnya sudah banyak 'memakan korban'.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kelompok Diskusi Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Kunto Adi Wibowo, menarik akar fanatisme ini bahkan sampai Pilpres 2014. Sejak saat itulah masyarakat Indonesia menghadapi pilihan yang membelah, yakni pilih Joko Widodo (Jokowi) atau Prabowo Subianto, istilah persaingan cebong versus kampret kemudian terbentuk.
"Kampret sudah berevolusi jadi kadrun, cebong-pun juga sudah berevolusi. Ini adalah drama Cebong vs Kampret Season 3," kata Kunto, dihubungi terpisah.