"Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) disebutkan bahwa perhitungan kerugian negara selain BPK, jaksa bisa menghitung sendiri dengan mendatangkan ahli. Sehingga perhitungan negara sekarang bukan lagi monopoli BPK," kata pakar hukum pidana Prof Hibnu Nugroho saat berbincang dengan detikcom, Selasa (24/12/2019).
Putusan MK yang dimaksud yaitu Putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012. Putusan itu diputus atas permohonan Eddie Widiono Suwondho. Pertimbangan MK berbunyi:
KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2006, lembaga yang berwenang melakukan audit atas timbulnya kerugian negara adalah BPK, BPKP dan akuntan publik. Pertimbangan MA di antaranya:
Bahwa eksistensi akuntan publik sebagai auditor resmi untuk melakukan audit investigasi terhadap perkara korupsi yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara dalam sistem hukum nasional dan dalam praktik peradilan sudah diakui. Bahwa dari segi legalitas maupun otoritas lembaga akuntan publik dalam melaksanakan tugas sudah diterima dalam praktik.
![]() |
"Ahli KAP adalah ahli audit forensik, di mana kekuatan ahli adalah bebas, bisa dipakai hakim bisa juga tidak, sehingga tidak mengikat, Kebetulan dari audit KAP mempunyai hungan dengan bukti-bukti yang dilakukan oleh Jaksa," ujar Hibnu.
Yang perlu digarisbawahi, menurut Hibnu, hasil KAP di dalam sidang pidana diuji secara pidana oleh majelis hakim. Yaitu digali secara materiil. Hasil gugatan perdata atas KAP tidak bisa mempengaruhi hasil kasus pidananya.
"Jadi kalau KAP-nya tidak sah, maka saat pembuktian pidana harus ditolak oleh hakim pidana. Perdata mencari kebenaran formal, pidana mencari kebebaran matiril," cetus Hibnu.
Kasus bermula saat Pertamina melakukan investasi dengan membeli Blok BMG Australia pada 2009. Nilainya lebih dari Rp 500 miliar. Investasi ini dinilai jaksa bermasalah dan jaksa meminta bantuan Kantor Akuntan Publik Soewarno & Bono Jatmiko. Kantor akuntan publik itu menyatakan negara merugi Rp 585 miliar gegara investasi itu.
Karen akhirnya duduk di kursi pesakitan. Karen dihukum 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Karen saat ini tengah mengajukan upaya hukum kasasi. Karen sendiri sudah menentang kasus yang menjeratnya itu sedari awal.
![]() |
"Saya itu harusnya bebas, jadi saya tidak mengerti kenapa bisa 8 tahun (penjara)," kata Karen seusai sidang saat itu.
Adapun untuk dua anak buah Karen, Ferederik dan mantan Manajer Marger Pertamina, Bayu Kristanto sudah divonis lepas oleh MA. Majelis kasasi pada awal Desember 2019 menyatakan kasus itu adalah kasus perdata.
Halaman 2 dari 2