Alasannya, mayoritas publik yang menjadi responden survei ingin agar pelanggar HAM diadili di pengadilan, secara yudisial. Hanya sedikit responden yang setuju penyelesaian kasus HAM masa lalu dilakukan lewat cara lain.
Survei ini dilakukan terhadap lima kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Di antaranya peritiwa 1965, penembakan misterius petrus 1982-1985, penculikan aktivis 1997-1998, penembakan Trisakti-Semanggi 1998, dan Kerusuhan Mei 1998. Survei dilakukan dengan metode penelitian multistage random sampling dengan 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi. Margin error sekitar 2,8% dan survei berlangsung pada September hingga Oktober 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimana kita menyelesaikan pelanggaran HAM ini? Apakah melalui yudisial atau melalui non-yudisial sampai muncul usulan KKR. Ternyata 62,1% mengatakan melalui pengadilan atau bahkan hampir 99,5% melalui pengadilan. 62,1% melalui pengadilan nasional, 37,2% melalui pengadilan internasional, 0,5% cara yang lain. Cara yang lain adalah KKR, rekonsiliasi," ujar Choirul di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019).
Tonton juga Komnas HAM Singgung Poin Pertama SKB Penanganan Radikalisme ASN Offside :
Choirul berharap survei tersebut dapat menjadi landasan pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM. Choirul mengatakan masyarakat memang ingin menyelesaikan HAM melalui pengadilan.
"Jadi kalau sekarang ngomong rekonsiliasi itu angkanya 0,5% itu pun salah satu bagian dari 0,5%. Jadi hentikan KKR, karena kalau angka ini 99,5% mengatakan diselesaikan melalui pengadilan, dan memang yang lebih besar adalah harapannya di selesaikan di pengadilan nasional bukan di pengadilan internasional," katanya.
"Harapan yang paling besar apa? Proses yang cepat sekitar 70,9 persen. Jadi ada pekerjaan yang memang nuansanya hukum, ada pekerjaan yang nuansanya politik, segera diselesaikan," imbuhnya.
Survei memperlihatkan persepsi publik bahwa hambatan terbesar dalam penyelesai HAM masa lalu adalah unsur politik. Hambatan selanjutnya adalah ketidakmampuan Presiden dalam hal teknis.
"Yang diprotret adalah hampir 73,9% mengatakan bahwa problem politik adalah hambatan paling utama dari pemerintah Jokowi-Ma'ruf, 23,6% ketidakmampuan Presiden, ini mungkin secara teknis hukum dan sebagainya ya kita ngertilah Pak Jokowi Insinyur bukan SH (sarjana hukum), tapi di sini protret ini yang paling penting," ujar Choirul saat memaparkan hasil survei.
Choirul menyebut hambatan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di seluruh dunia.
"Ini hampir sesuai dengan semua dugaan atau asumsi baik Komnas HAM, aktivis HAM baik nasional dan di internasional mengatakan bahwa hambatan politk dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu selalu mewarnai, dan ini di dunia terjadinya begini. Jadi tidak hanya terjadi di Indonesia di berbagai belahan dunia yang lain nuansa politik jauh lebih memengaruhi dari teknis hukum," kata dia.
Choirul berharap penyelesaian HAM berat masa lalau menjadi komitmen pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Dia juga menitipkan penyelesaian HAM tersebut kepada Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md.
"Maknanya ini harus menjadi komitmen politik kita semua. Kalau secara formal berkali-kali dalam pidato kenegaraan beberapa presiden tidak hanya Jokowi mengatakn penuntasan masalah HAM yang berat adalah utang kita semua harus kita selesaikan tapi tidak pernah berjalan sampai saat ini," ujarnya.
"Banyak negara dengan berbagai caranya kalau kita berharap agak lebih misalkan di pemerintahan yang sekarang harusnya sebagai komando dinamika politik hukum dan hak asasi manusia di nasional, Pak Mahfud Md yang kita tenggarai tidak punya beban masa lalu harusnya bisa beresin ini, harusnya," imbuhnya.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini