Jakarta - Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Yuli Riswanti sudah ditahan selama 29 hari di Hong Kong. Menurut Federasi Pekerja Domestik Internasional (IDWF), Yuli ditahan karena menulis tentang
demonstrasi Hong Kong. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong menanggapi.
KJRI menyampaikan, Yuli ditahan Imigrasi Hong Kong karena kasus melebihi izin tinggal (overstay). Pelanggaran jenis itu adalah perbuatan pidana di Hong Kong. KJRI berupaya memberi pendampingan hukum, namun pihak Yuli dinyatakannya menolak.
"Dari sejak awal KJRI mengikuti kasus ini, KJRI selalu berupaya memberikan bantuan, namun yang bersangkutan menolak dibantu oleh KJRI. Namun demikian kami selalu berkoordinasi dengan pihak imigrasi Hong Kong memastikan agar hak-hak hukum yang bersangkutan dijamin," kata KJRI Hong Kong lewat keterangan tertulis, disampaikan Konsul Muda Penerangan Sosial dan Budaya, Vania Lijaya, Senin (2/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yuli telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman denda HKD 1.000 dengan percobaan selama satu tahun. Yuli disebut IDWF bekerja di tempat yang sama dengan wartawan Indonesia yang pernah tertembak di Hong Kong, Veby Mega Indah, yakni media untuk orang Indonesia di Hongkong bernama Suara.
Lantas, apa benar Yuli ditahan karena tulisannya terkait demonstrasi Hong Kong?
"KJRI Hong Kong tidak dapat berspekulasi mengenai kaitan proses hukum keimigrasian yang dihadapi Saudari Yuli dengan tulisan yang bersangkutan mengenai demonstrasi di Hong Kong, sebagaimana diberitakan di media. Namun demikian, KJRI Hong Kong terus memonitor pemenuhan hak-hak Saudari Yuli sesuai hukum setempat yang berlaku," tutur KJRI.
Simak Video "Kemenaker Bangun LTSA untuk Melindungi TKI"
Dilansir situs IDWF, Yuli ditahan di Pusat Imigrasi Castle Peak Bay (Castle Peak Bay Immigration Center), atau disebut masyarakat setempat sebagai CIC. Penahanan itu dilakukan Departemen Imigrasi Hong Kong terhadap Yuli sejak 4 November.
"Kondisi yang dihadapi Yuli adalalah praktik tak lumrah dari Departemen Imigrasi dan mungkin praktik yang melanggar hukum. Jelas, ini adalah tekanan politik terhadap Yuli karena tulisannya, karena dia berbicara untuk pengunjuk rasa Hong Kong," kata koordinator regional Federasi Pekerja Domestik Internasional (IDWF), Fish Ip.
Pada 23 September, Yuli ditangkap aparat imigrasi Hong Kong di rumah majikannya yang juga menjadi tempat tinggal Yuli. Alasannya karena Yuli overstay visa kerja. Yuli punya kontrak kerja dengan majikannya yang mempekerjakannya sebagai perawat lansia. Kontrak kerjanya dimulai pada 12 Januari 2019 dan berlaku dua tahun.
"Biasanya ketika seorang pekerja mengalami kedaluwarsa visa, selama masih ada kontrak, majikan biasanya mengkonfirmasi status pekerjaan si pekerjanya dan menjelaskan lewat surat ke pihak imigrasi kenapa pekerjanya lupa untuk memperpanjang visa. Imigrasi selalu memperbolehkan pekerja untuk memperbarui visa tanpa halangan. Saya tidak pernah menemukan kasus pihak Imigrasi menyambangi rumah dan menangkap pekerja gara-gara itu," kata Kepala Federasi Pekerja Domestik Hong Kong (FADWU), Dang.
Sidang terhadap Yuli telah digelar pada 4 November lalu. Hakim pengadilan Sha Tin memutuskan untuk tidak menunjukkan bukti bahwa Yuli overstay. Akhirnya, dia tidak dihukum karena overstay. Namun, Departemen Imigrasi kemudian mengirimnya ke CIC (Pusat Imigrasi Castle Peak Bay) dan menahannya dengan alasan bahwa dia tidak punya teman dan tak punya rumah di Hong Kong. IDWF menyatakan itu tidak benar.
Yuli berusaha memperpanjang visanya selama di tahanan. Namun upayanya selalu gagal. Bahkan Yuli mengatakan petugas imigrasi selalu memintanya untuk menarik pendaftaran perpanjangan visanya dan mempersilakan Yuli pulang ke Indonesia.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini