Kasus bermula saat Menteri mengeluarkan Peraturan Menristesdikti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat. Menristekdikti menyerahkan penyelenggaraan pendidikan advokat ke kampus-kampus Fakultas Hukum minimal akreditasi B.
Pasal 3 ayat 1 berbunyi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masa studi program profesi advokat maksimal 3 tahun. Program Profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan sebagai program lanjutan yang terpisah atau tidak terpisah dari Program Sarjana.
Adapun syarat kelulusan pendidikan advokat, bila:
1. Telah menempuh seluruh beban belajar yang ditetapkan.
2. Memiliki capaian pembelajaran lulusan yang ditargetkan oleh Program Profesi Advokat.
3. IPK minimal atau sama dengan 3,00.
Bagi yang lulus, berhak mendapat gelar advokat. Kampus yang melaksanakan pendidikan advokat, wajib menggandeng organisasi advokat. Selama ini, penyelenggaran pendidikan advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Hal itu sesuai dengan UU Advokat.
"Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat," demikian bunyi Pasal 2 ayat 1 UU Advokat.
Nah, berdasarkan informasi perkara di website Mahkamah Agung (MA) yang dikutip detikcom, Kamis (28/11/2019), Permenristekdikti itu tengah diajukan judicial review ke MA.
Uji materi itu bernomor 87 P/HUM/2019 dengan pemohon adalah Luthfi Yazid dkk. Pemohon meminta Permenristekdikti di atas diminta dihapus. Permohonan judicial review itu didaftarkan pada 12 November 2019. MA belum membentuk majelis hakim untuk mengadili permohonan itu.
Simak Video "Sambutan dan Kritikan Soal Pidato Hari Guru Menteri Nadiem"
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini