"Jadi menurut saya, kita jangan latah mengambil, bahkan di negara Barat pun tidak pilkada langsung. Jadi kita jangan berlebih-lebihan. Lompatan-lompatan politik yang berlebihan itu membuat kita kalau tidak kita kelola dengan baik itu akan membuat kita betul-betul melakukan blunder. Jadi justru set back kita bernegara berbangsa saat ini," sambungnya.
Evaluasi pilkada langsung, menurut Siti, bukanlah suatu kemunduran menuju otoritarianisme. Siti menyebut saat ini perlu dicari demokrasi yang akurat dan meningkatkan peradaban.
"Dan tentunya harus meningkatkan peradaban. Karena demokrasi itu adalah membangun peradaban. Kalau kita tidak beradab dengan sistem demokrasi yang kita aplikasikan, apalagi melalui langsung-langsung tadi, itu harus dipertanyakan. Kita tidak bisa terus-teruskan. Hancur negara kita. Dalam konteks itu menurut saya memang dievaluasi," ucap Siti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya partisipan demokrasi meningkat. Tapi juga kita lihat mudaratnya ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau nggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," ujar Tito di kompleks parlemen, Jakarta Selatan, Rabu (6/11).
(azr/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini