"Pasal ini justru bertentangan dengan putusan MK. Ada tiga putusan MK, tahun 2003, 2006, dan 2010 yang spesifik menyebutkan KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 agar KPK lebih berhati-hati untuk mengkonstruksikan perkara yang nantinya dibawa ke persidangan," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam diskusi di Kode Inisiatif, Jalan Tebet Timur VII, Rabu (18/9/2019).
Kurnia menilai SP3 bukan solusi untuk menyelesaikan perkara yang menumpuk di KPK. Dia mencurigai SP3 itu sengaja dibuat untuk menghentikan kasus besar yang sedang ditangani lembaga antirasuah tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ada dugaan kita bahwa pengesahan revisi Undang-Undang KPK kali ini, klausul 2 tahun ini justru ingin menghentikan penyidikan perkara-perkara besar yang sedang berjalan di KPK. Ada banyak perkara besar berjalan di KPK, BLBI, ada Century, ada e-KTP yang sudah berjalan," imbuhnya.
Dia juga mengkritik aturan penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas KPK. Menurutnya, selama ini sadapan KPK yang terbuka berguna sebagai alat bukti di persidangan.
Baca juga: Pusako: Pengesahan UU KPK Langgar Prosedur |
"Penyadapan ini kan sangat erat kaitannya dengan OTT yang selama ini dilakukan KPK. Faktanya bisa kita lihat, data yang disampaikan oleh Pak Agus beberapa waktu lalu, KPK sudah melakukan OTT 123 kali dengan tersangka 432 orang dan memang kalau kita melihat data yang lebih jauh, 432 orang ini yang sudah masuk persidangan, semuanya terbukti bersalah," ungkapnya.
"Penyadapan yang dilakukan KPK terbukti atau menjadi alat bukti kuat di persidangan sehingga membenarkan dalil dakwaan penuntut umum bahwa terdakwalah yang bersalah. Jadi di mana problem penyadapannya?" imbuh Kurnia.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini