"Terkait dengan pertanyaan tentang apakah harus ada unsur-unsur perwakilan institusi yang harus ada di KPK untuk menjadi Pimpinan KPK, kami mengajak semua pihak untuk tetap mengacu pada aturan yang ada, yaitu UU Tipikor dan UU KPK," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Jumat (19/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dengan Undang-
undang.
Selain itu, Febri menyebut unsur yang menjadi pimpinan KPK juga diatur dalam UU 30 tahun 2002 tentang KPK. Pada bagian penjelasan umum disebutkan kalau 'Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi'.
"Dari dua UU tersebut kita memahami bahwa unsur yang diwajibkan sebagai Pimpinan KPK adalah unsur pemerintah dan masyarakat, jadi tidak ada ketentuan yang mewajibkan unsur perwakilan institusi tertentu," ujar Febri.
Dia juga mengatakan undang-undang mengatur proses seleksi secara ketat dan transparan. Seleksi juga harus melewati uji kelayakan di DPR.
"KPK berharap proses seleksi ini tetap mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Sehingga tidak ada bias-bias pemahaman sejak awal dan jangan sampai ada kesan 'penjatahan' dalam kursi Pimpinan KPK. Karena tugas yang akan dilakukan di KPK nantinya tidak akan terpengaruh pada keterwakilan tersebut," ucapnya.
Selain itu, dia juga mengatakan KPK berharap seleksi pimpinan KPK mempertimbangkan aspek keseimbangan gender. Apalagi, kata Febri, KPK selama ini juga intens membangun gerakan antikorupsi lewar jaringan Saya Perempuan Antikorupsi (SPAK) dan lainnya.
"KPK berharap keseimbangan gender juga menjadi perhatian dalam proses seleksi Pimpinan KPK ini," tuturnya.
Sebelumnya, Antasari mengkritik formasi pimpinan KPK 2014-2019 yang diketuai Agus Rahardjo. Dia menilai formasi pimpinan KPK saat ini terindikasi melanggar undang-undang karena tidak ada unsur jaksa.
"Saya berani mengatakan hari ini bahwa KPK yang sekarang terindikasi susunannya melanggar UU, karena jelas dibaca Pasal 21 ayat 5 (UU No 30/2002 tentang KPK) disebutkan komisioner KPK terdiri atas lima orang. Kelima orang itu harus ada unsur penuntut umum dan unsur penyidik," kata Antasari dalam diskusi 'Mencari Pemberantas Korupsi yang Mumpuni' di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (18/7).
"Tidak ada unsur penuntut umum saja melanggar undang-undang. Sekarang unsur jaksa siapa? Tidak ada. Berarti kan melanggar undang-undang," lanjut dia.
Adapun Pasal 21 ayat 5 yang disebut Antasari berbunyi:
'Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif'.
Tonton Video Antasari Menilai Perlu Ada Dewan Pengawas KPK:
(HSF/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini