"Rekomendasi utamanya, KPK perlu fokus betul-betul dalam pembenahan SDM. Kami rasa penting karena isu-isu mengenai tata kelola organisasi dan penggunaan dan pemanfaatan kewenangan operasional sudah cukup independen, itu harus juga fokus pada sumber daya manusia yang sifatnya bukan hanya jangka pendek, tapi jangka panjang," kata peneliti TI Indonesia, Alvin, di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (4/7/2019).
Penelitian kinerja KPK ini merupakan yang kedua kalinya dilakukan setelah 2017. Untuk penelitian kedua ini, TI menggelar penelitian pada 14 Maret hingga 12 April 2019 dengan melibatkan 22 informan dari 14 lembaga atau individu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada enam dimensi yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu independensi dan status; sumber daya manusia dan anggaran; akuntabilitas dan integritas; deteksi, penyidikan, dan penuntutan; pendidikan, pencegahan dan penjangkauan; serta kerja sama dan hubungan eksternal. Keenam dimensi penilaian itu terdiri atas 50 indikator yang terbagi dalam 14 indikator bersifat internal, 16 indikator eksternal, dan 20 indikator terkait performa.
"Dari 50 indikator dibagi dalam enam dimensi. Masing-masing proporsinya tidak sama. Ada yang sembilan indikator dan juga yang enam," ucapnya.
Dari enam dimensi yang diteliti itu, dimensi sumber daya dan anggaran mendapat penilaian paling rendah. Dari sembilan indikator dengan nilai maksimal 18, TI hanya memberi nilai 12 pada dimensi ini dengan persentase 67 persen.
Salah satu yang disorot adalah besaran anggaran. Menurut TI, anggaran KPK masih tergolong kecil jika dibandingkan lembaga antikorupsi di negara lain.
"Proporsi anggaran kalau dihitung trennya dalam empat tahun terakhir persentasenya masih 0,0001 persen dari APBN, padahal lembaga antikorupsi di dunia ideal secara umum harus punya 0,1 persen dari APBN, walau kita tahu KPK dari anggaran cukup dan kadang lebih. Tapi kami rasa penting untuk melibatkan DPR peluang 0,1 persen bisa tercapai," ucapnya.
Alvin juga menyebut kekosongan pejabat definitif sehingga beberapa jabatan diisi oleh Plt harus menjadi fokus perbaikan. Hal ini, menurutnya, terkait dengan jumlah pegawai KPK.
Selain itu, TI menyoroti dimensi independensi KPK dari sisi keberadaan pegawainya. TI menilai KPK masih bergantung pada pegawai dari instansi lainnya.
"Masih tingginya ketergantungan pada pegawai instansi penegak hukum lain, Polri dan Kejaksaan dalam hal ini. Secara jumlah dan proporsi ada beberapa visi yang saat ini sedang dikembangkan, merekrut banyak pegawai independen begitu. Tapi jangan hanya proporsi yang diperhatikan tapi juga kualitasnya. Dalam konteks itu kami melihat sangat bisa tarik menarik indikatornya dalam dimensi independensi dan status KPK," jelasnya.
Dari sisi independensi, TI juga menyoroti soal rendahnya security of tenure pimpinan KPK ketika menjabat serta dugaan adanya penghambatan kasus ketika berkaitan dengan institusi penegak hukum lainnya. TI pun menyoroti persoalan penindakan dengan adanya, menurut TI, tunggakan 18 kasus megakorupsi hingga minimnya penggunaan Undang-Undang TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) pada kasus-kasus yang ditangani KPK.
Selain menyoroti kinerja KPK pada tiap dimensinya, Alvin mengatakan penelitian ini juga menyimpulkan kinerja KPK sebenarnya sudah baik. Faktor pendukung kinerja KPK, baik internal ataupun eksternal, juga dinilai sudah memadai.
"Secara performa aktualnya baik begitu, dengan mencapai persentase 80 persen, tapi tentu berbeda dengan tahap pertama banyak perhatian di isu-isu pengawasan eksternal di tahap kedua ini banyak isu krusial di faktor kontrol internal yang belum maksimal. Ini harus jadi perhatian bersama terutama di Kedeputian PIPM. Kedua, selain melihat performa, faktor pendukungnya baik eksternal maupun internalnya cukup memadai. Itu secara legislasi, memadai, cukup untuk penanganan korupsi. Secara internal, pola organisasi yang merit dan lain-lain sebetulnya kami pandang cukup memadai. Tapi modalitas eksternal ini perlu diperkuat terutama fokus penguatan strategi trigger mechanism di lembaga penegak hukum lain, Polri dan Kejaksaan," paparnya.
Penasihat KPK, Budi Santoso, mengapresiasi penelitian kinerja yang dilakukan TI. Dia kemudian mengomentari persoalan anggaran yang menjadi salah satu sorotan penelitian ini.
"Memang bahwa anggaran tidak terserap itu fakta. Tapi mungkin yang harus dilihat komparasinya dibanding kementerian atau lembaga lain. Selama ini serapannya angkanya itu pasti di atas 80 persen. Nah, memang pengalaman sebelum-sebelumnya sampai 100 persen. Karena itu, tidak ada saya kira yang normal sampai 100 persen. Tapi dengan serapan secuma itu relatif kebutuhan KPK bisa dipenuhi. Kegiatan yang sudah direncanakan bisa dilaksanakan. Tahun ini kan sekitar Rp 850 miliar kalau nggak ada tambahan, ini masih dalam proses akan ada tambahan sekitar Rp 200 miliar untuk salah satunya audit IT, tapi saya belum tahu hasil akhirnya. Tapi paling tidak dengan anggaran yang sekitar Rp 800 sekian dibanding penegak hukum lain tentu kita sangat kecil," ujar Budi.
Budi menyebut jumlah anggaran tersebut memang belum mencapai 0,1 persen dari APBN seperti lembaga-lembaga antikorupsi lain di dunia. Dia menyatakan besaran anggaran tersebut juga berhubungan dengan jumlah pegawai KPK ataupun SDM yang dinilainya masih sedikit jika dibanding dengan lembaga-lembaga antikorupsi lainnya.
"Ada kalkulasi SDM KPK paling tidak sampai 8.000 misalnya. Karena meski nggak apple to apple tapi kalau kita misalnya bandingkan dengan MACC di Malaysia, dengan penduduk hanya 33 juta, MACC itu stafnya sekitar 4.300. Kita dengan penduduk 260 juta hanya 1.658 jadi sebenarnya sangat jauh untuk membandingkan," ucap Budi.
Dia mengatakan hal ini menjadi tugas pimpinan KPK ke depan untuk bisa melakukan lobi-lobi agar kebutuhan staf atau SDM yang diperlukan KPK. Kemudian, soal isu security of tenure juga dinilai Budi harus ada bagi para pimpinan KPK agar tidak dengan mudah ditersangkakan oleh lembaga penegak hukum lain saat menjalankan tugas.
"Misalnya dulu seingat saya pak BW (Bambang Widjojanto) mengalaminya. Misalnya seorang pimpinan KPK membuat statement kemudian dipersepsikan oleh polisi atau pihak lain yang tidak sepakat, mencemarkan nama baik, diterima laporannya, dinyatakan sebagai tersangka, maka dia harus nonaktif. Saya kira soal ini faktanya memang begitu, catatan independensi ini. Memang solusinya, suka atau tidak suka ini harus ada proses revisi undang-undang. Hanya sikap dari sini kan UU 30/2002 belum sampai pembicaraan untuk direvisi karena yang diusulkan dan sudah ada drafnya justru Undang-Undang Tipikornya, bukan UU KPK-nya. Karena logikanya kalau UU Tipikor berhasil direvisi sesuai aspirasi kami yang dirumuskan mau nggak mau pasti di kemudian hari harus ada revisi aturan lain yang menyangkut eksistensi Undang-Undang Tipikor," jelas Budi.
Akademisi hingga Jendral Polisi 'Berebut' Kursi Pimpinan KPK, Simak Videonya:
(haf/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini