"Di sini terlihat sebagian besar, (atau) 82 persen di antara swasta itu merasa bahwa mereka dirugikan oleh suap. Hanya 18 persen merasakan tidak, ini berdasarkan survei yang dilakukan TII per tahun 2017 di 12 kota besar," kata ketua dewan eksekutif TII, Natalia Seobagjo, saat diskusi interaktif bersama Pansel KPK di Hotel Morrisey, Jalan Wahid Hasyim, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (3/7/2019).
Natalia mengungkapkan ada inkonsistensi pemikiran dari pihak swasta dalam menyikapi kerugian akibat suap. Dalam survei TII, sebanyak 62 persen perusahaan merasa belum menjadikan korupsi atau suap sebagai prioritas. Namun faktanya, 80 persen kasus korupsi di KPK melibatkan pihak swasta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, hampir setengah dari sektor swasta tidak mengetahui undang-undang korupsi. Natalia menilai perusahaan swasta masih menganggap korupsi bukanlah hal yang serius.
"Dan juga banyak sekali, hampir setengah itu (sektor swasta) tidak tahu bahwa ada Undang-Undang Tipikor dan ada peraturan yang mengatakan bahwa korupsi korporasi itu suatu hal yang serius," kata dia.
Lebih lanjut Natalia melihat upaya pencegahan korupsi saat ini semakin meningkat. Karena itu, ruang gerak para koruptor semakin sempit.
"Kenyataannya, padahal kita semakin berhasilnya atau semakin majunya upaya pemberantasan kita bersama terhadap korupsi, itu ruang gerak para koruptor itu kita membuat semakin sempit, semakin sempit," kata Natalia.
Untuk menjadikan Indonesia bebas dari korupsi mungkin mustahil, menurut Natalia. Namun yang bisa dilakukan adalah membuat ruang koruptor itu semakin sempit dengan pemberantasan yang dilakukan KPK.
"Untuk mengatakan bahwa kita zero corruption itu mustahil. Tapi apa yang bisa kita lakukan adalah membuat ruangnya semakin sempit," pungkasnya.
(lir/nvl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini