Dari catatan detikcom, laporan gratifikasi itu sebagian besar memang berupa barang atau parsel makanan hingga yang berisi aset berharga. Seperti yang pernah dicatatkan KPK pada tahun 2018.
Pada bulan Mei 2018, KPK pernah menerima laporan gratifikasi yang tidak lazim. Rupa-rupa gratifikasi itu seperti keris, minuman wine, hingga suplemen ginseng.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penyelenggara negara atau pegawai negeri yang melaporkan gratifikasi dapat melakukan dengan cara lebih mudah. Bisa datang langsung ke KPK atau melalui e-mail pelaporan.gratifikasi@kpk.go.id atau pelaporan online yaitu melalui website gol.kpk.go.id," ujar Febri saat itu.
Masih pada tahun yang sama, Febri menyebut ada pula laporan gratifikasi berupa fasilitas. Setidaknya Febri menyampaikan adanya laporan itu berupa perjalanan wisata ke Eropa dan China bahkan perjalanan ibadah umrah.
"Dari Januari-April 2018, nilai gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik negara antara lain berupa uang dan barang. Untuk yang berupa uang yaitu Rp 1.402.449.699, 65.244 dolar Amerika Serikat, 2.537 dolar Singapura, dan 374 euro," ujar Febri saat itu.
"Sedangkan yang berupa barang yaitu nilainya Rp 373.765.808, 880 dolar Amerika Serikat, 876 pound sterling, 83 euro, 28.000 won Korea," imbuh Febri.
Lalu bagaimana dengan tahun ini?
Sebenarnya untuk tahun ini KPK lebih mendorong agar para penyelenggara negara lebih aktif menolak lebih dulu pemberian gratifikasi. Hal itu memang diatur dalam undang-undang.
Namun pada kenyataannya masih ada penyelenggara negara yang melaporkannya ke KPK. Meski demikian, KPK tetap dengan tangan terbuka memprosesnya.
"Jadi imbauan utama KPK adalah menolak penerimaan gratifikasi. Jadi, kalau ada pihak-pihak yang melakukan pemberian gratifikasi, pejabatnya harus dengan tegas menolak hal tersebut sehingga, kalau sudah ditolak, kan tidak perlu dilaporkan sebagai penerimaan," kata Febri pada Senin, 27 Mei 2019.
Setidaknya saat itu Febri menyebutkan adanya penerimaan laporan gratifikasi berupa parsel senilai Rp 2 juta; karangan bunga Rp 2,5 juta; dan uang Rp 200 ribu. Febri pun menegaskan besaran gratifikasi tidak ada nilai minimal, tetapi lebih pada hubungan antara pemberi dan penerima.
"Dulu kan seolah-olah ada informasi ada batasan nilai, kalau parsel nilainya di atas sekian itu boleh diterima. Kami tegaskan, tidak ada batasan nilai, penyelenggara negara dan pegawai negeri wajib menolak gratifikasi tersebut berapa pun nilainya jika diberikan oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan jabatan, karena dari laporan yang kami terima itu sangat beragam ya laporan gratifikasinya," kata Febri.
"Yang menjadi alat ukur adalah apakah ada hubungan jabatan atau tidak dari pihak pemberi ke penerima," imbuhnya.
Nah yang teranyar KPK kembali menerima laporan gratifikasi yang tak biasa. Dari data KPK, ada pemerintah daerah (pemda) yang melaporkan gratifikasi berupa gula pasir. Namun jangan anggap remeh dulu, karena jumlah gula pasir yang diberikan itu tak tanggung-tanggun.
"KPK menerima pelaporan gratifikasi berupa 1 ton gula pasir dari salah satu pemerintah daerah senilai Rp 10 juta dan penerimaan gratifikasi dalam bentuk uang sebesar SGD 1.000," ujar Febri pada Jumat, 31 Mei 2019.
Selain soal gratifikasi, Febri menyebut KPK telah mengeluarkan imbauan yang dituangkan dalam Surat Edaran (SE) KPK tentang Imbauan Pencegahan Gratifikasi terkait Hari Raya Keagamaan yang ditujukan kepada pimpinan instansi/kementerian/lembaga/organisasi/pemerintah daerah/BUMN/BUMD.
Sejumlah 200 lembaga pemerintah, seperti kementerian, BUMN, pemprov, dan pemda, juga telah mendukung surat edaran KPK terkait penolakan gratifikasi. KPK pun mengapresiasi langkah 200 lembaga itu.
Halaman 2 dari 2