Tangan kanannya dengan gerakan cepat mengait gagang alat tenun sederhana dari kayu, sementara tangan kirinya dengan cekatan mengganti benang kapas untuk membentuk motif simetris. Lembar demi lembar kain tenun beragam motif yang sudah selesai dirajutnya dibentangkan di samping tempat duduknya.
"Di Maumere, kepandaian menenun jadi ukuran seorang gadis dianggap sudah dewasa. Sebelum menikah, anak gadis harus sudah bisa pandai menenun, karena kedewasaannya diukur dari hasil tenunannya. Kalau di kampung, pemahaman itu sampai saat ini masih berlaku. Sejak SD sudah harus belajar tenun, jadi saat anak SMA atau siap menikah, dia sudah bisa menenun kain," ucap Rosvita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa harus bisa menenun sebelum menikah, karena ketika perempuan berkunjung ke rumah keluarga suaminya, dia perlu bawa kain tenun untuk mertua dan keluarga suami lainnya. Selain itu, memang sejak dulu menenun jadi aktivitas perempuan Maumere setelah selesai mengurus rumah saat suami bekerja di kebun. Kain tenun bisa dijual di pasar lokal setiap hari Sabtu," kata perempuan paruh baya ini.
Rosvita menjelaskan, ada dua motif paling khas dari kain tenun Maumere yakni Lian Lipa dan Wolakbola. Untuk bahan pewarnanya, seluruhnya menggunakan pewarna alami dari tumbuhan seperti daun nila, indigo, akar mengkudu, dan kulit batang pohon mangga.
"Semua hampir tersedia semua di alam. Bahan benangnya kita rajut dari kapas yang ditanam sendiri di pekarangan. Kalaupun ada bahan yang harus dibeli, itu hanya kain katun," ungkapnya.
Membuat tenun sendiri, sambung dia, butuh ketelatenan sangat tinggi. Dia mengaku, untuk menyelesaikan satu lembar kain tenun ukuran panjang 3 meter dan lebar 1,2 meter bisa dikerjakan selama 3 minggu.
"Itu untuk kain adat memamg butuh waktu pengerjaan yang lama, itu biasanya dipakai untuk seserahan, upacara kematian, dan acara adat lainnya. Wanita di sana juga selalu pakai sarung tenun. Sementara untuk harga tenun antara Rp 500 ribu hingga Rp 6 juta, tergantung ukuran tenun. Banyak orang Jepang dan Eropa yang membeli karena suka sekali dengan motifnya," ujar Rosvita.
Selain kain tenun panjang, Di Sanggar Watubo miliknya di Desa Watublapi, Rosvita dan sejumlah ibu rumah tangga bisa membuat produk tenun lainnya seperti dompet, gelang, aksesoris rumah tangga, dan syal.
Rosvita sendiri mengaku cukup gembira bisa berpartisipasi di Indonesia Paviliun yang berbarengan dengan Annual Meeting IMF-WB 2018. Direktur IMF Christine Lagarde jadi salah satu tokoh yang pernah menyambanginya. Lagarde saat itu sangat antusias dengan antusias melihat tenun asli Maumere. Bahkan, Lagarde dihadiahi kain tenun rajutan Rosvita oleh panitia Indonesia Pavilion, meski kemudian Lagarde menolaknya secara halus.
Baca juga informasi Indonesia Pavilion IMF-WBG selengkapnya di sini.
Simak Juga 'Lihainya Iriana-Mufidah Kalla Goyang Maumere Bareng Ibu-ibu PKK':
(idr/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini