Perkara 'kuping' ini menjadi perbincangan politik sejak pengurus Partai Demokrat menyatakan akun Twitter-nya di-suspend. Adalah Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean yang mengaku akun @LawanPoLitikJKW miliknya kena suspend. Dia menduga ini adalah ulah pemerintah.
"Saya tidak pernah tweet tentang pornografi, asusila, menyerang pribadi orang, menyebar hoax, konten kekerasan, saya tidak pernah, saya tidak pernah melanggar itu. Sekarang pertanyaan kenapa akun Twitter saya di-suspend, saya pikir mungkin pemerintah semakin represif terhadap kebebasan berpendapat, baik di lingkup umum maupun media sosial," kata Ferdinand kepada detikcom, Rabu (13/6/2018) kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rekan separtai Ferdinand kemudian membandingkan pemerintahan era Presiden SBY dengan era Presiden Jokowi. Menurutnya, pemerintahan sekarang lebih reaksioner alias bertelinga tipis bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.
"Di benak publik kan memang telah terbangun kesan, terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat ini, pemerintah sekarang memang 'telinganya lebih tipis' dibanding pemerintahan Pak SBY," kata Ketua DPP Demokrat Jansen Sitindaon kepada wartawan, Kamis (14/6/2018) kemarin.
Kubu partai pendukung Jokowi menanggapi penilaian itu. Sekretaris Badan Pelatihan dan Pendidikan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari menilai sikap Presiden SBY tak terlalu 'kuping tipis' pada eranya karena waktu itu oposisi tak sebrutal sekarang. Sebagaimana diketahui partai oposisi era SBY adalah PDIP yang sekarang menjadi partai penguasa.
"Zaman SBY itu sopan-sopan oposisinya. Nggak ada yang di luar batas. Kalau sekarang ngomongnya ngawur, gambar wajah orang bahkan dijadikan monyet," kata Eva pada Kamis (14/6/2018) kemarin.
Jokowi saat ini lebih menerapkan sistem penjagaan terhadap paham-paham yang melawan negara. Itu bukan berarti pemerintahan Jokowi 'bertelinga tipis' atau kelewat sensitif terhadap ekspresi orang-orang. Secara satire, Eva mengungkit sikap pemerintahan SBY terhadap kelompok tertentu. Eva menyebut kelompok HTI, ormas yang kini dilarang negara.
"SBY is the best! Termasuk soal pembiaran terhadap HTI. Sekarang kita cuci piring soal HTI, karena pahamnya sudah masuk ke kampus-kampus hingga kementerian," kata dia.
"Dulu saking nggak punya aturannya, HTI dibiarkan. Kan lebih bahaya," tandas Eva.
Pandangan Eva dari PDIP dibalas dengan pandangan Habiburokhman dari Partai Gerindra. Ketua DPP Partai Gerindra ini lebih sepakat dengan Partai Demokrat ketimbang PDIP. Menurutnya, kuping Jokowi memang tipis. Kualitas demokrasi era Jokowi juga lebih buruk ketimbang era SBY.
"Saya setuju dengan yang disampaikan Partai Demokrat. Kita harus jujur, dalam konteks menjaga kualitas demokrasi, saat ini kualitas demokrasi lebih lemah daripada era pemerintahan Pak SBY. Ini jadi masukan untuk Pak Jokowi," kata Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman kepada detikcom, Kamis (14/6/2018) kemarin.
Menurutnya, seharusnya Jokowi lebih terbuka terhadap kritik. Sikap SBY yang lebih rileks terhadap kritik pernah ditunjukkan pada saat dirinya aktif menjabat sebagi Presiden. Dulu ada orang yang mengkritik SBY dengan cara membawa kerbau bertulisan 'SBY', tapi itu tidak dipermasalahkan secara hukum. Peristiwa kerbau bertulisan 'SBY' ini terjadi pada 28 Januari 2010, yakni momentum demo besar-besaran 100 hari pemerintahan SBY sejak 2009.
"Sekarang yang tidak sopan saja pada ditangkapi, yang sopan-sopan saja akun Twitter-nya di-suspend," kata Habiburokhman sambil membantah Eva Kusuma Sundari.
Baca juga: Ramai-ramai #MenghindariSuspend di Twitter |
Politisi Partai NasDem Taufiqulhadi tidak setuju dengan penilaian bahwa telinga Jokowi tipis. Menurutnya, kritik di era SBY adalah kritik yang normatif dan punya dasar ilmiah. Ia menyatakan saat ini kritik kepada pemerintah lebih banyak lewat media sosial. Bahkan, menurutnya, apa yang disampaikan lewat media sosial lebih banyak berupa fitnah.
"Zaman Pak SBY itu adalah kritik yang normatif, karena dia muncul berbagai surat kabar dengan medianya bukan media sosial, tapi melalui media-media ilmiah," kata anggota Dewan Pakar Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi, Kamis (14/6/2018).
Partai Golkar juga menepis tudingan 'telinga' pemerintahan Jokowi lebih tipis dibanding era SBY. Menurut Golkar, yang 'kupingnya' tipis, kalau dikritik, akan marah-marah atau curhat dan kedua hal itu bukanlah kebiasaan Jokowi.
"'Kuping' tipis juga sangat tidak relevan jika dikaitkan dengan Pak Jokowi. Orang yang 'kupingnya' tipis biasanya punya dua kebiasaan menghadapi kritik, kalau nggak marah-marah ya curhat. Dua-duanya bukan kebiasaan Pak Jokowi," kata Wasekjen Golkar Sarmuji kepada detikcom, Kamis (14/6/2018).
Satu lagi tangkisan dari kubu Jokowi, yakni dari Ketua DPP Hanura Inas Nasrullah Zubir. Dia menilai sebenarnya yang berkuping tipis adalah SBY. Di mata Inas, SBY adalah sosok yang sering ngambek alias pundung.
"Kalau disebut lebih tipis dari SBY, artinya diakui oleh kader Demokrat bahwa sebenarnya telinga SBY itu tipis, iya kan? Saking tipisnya telinga SBY, jadinya dia gampang pundung, sering kali kita disuguhi tontonan di mana SBY gampang sekali tersinggung, lalu apakah Pak Jokowi pernah seperti itu? Kita belum pernah mendengar beliau seperti itu," kata Ketua DPP Hanura Inas Nasrullah Zubir kepada detikcom, Kamis (14/6/2018) kemarin.
Pihak Istana Kepresidenan juga menanggapi hal ini, Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengatakan pemerintah tak terganggu kritik. Justru kritik itu bermanfaat meski kadang terasa pahit. Dia mengimbau agar semua pihak mengedepankan prasangka baik saja terhadap pemerintah.
"Pemerintah tak tipis kupingnya. Tak terganggu kritik," kata Ngabalin saat dihubungi, Kamis (14/6/2018).
Kembali soal suspend akun Twitter Ferdinand Hutahaean yang menjadi awal mula perbincangan 'kuping tipis' ini, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan pemerintah tak pernah memerintahkan Twitter untuk melakukan suspend.
"Saya sudah cek di kantor dan pastikan tidak ada permintaan suspend atau take down dari Kominfo," kata Rudiantara, Kamis (14/6/2018).
(/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini