Pendapat ini disampaikan oleh dr Widyastuti, ahli kesehatan masyarakat dari bagian pendataan Jaringan Pengendalian Tembakau (JPT). Menurutnya, tujuan untuk membebaskan gedung-gedung dari asap rokok tidak akan sukses bila masih tersedia ruang khusus merokok di dalam gedung.
"Masalahnya isolasi asap itu sulit, celah sekecil apapun masih bisa membuat asap rokok merembes bahkan meski sudah diberi sistem exhaust," kata dr Wid usai melakukan audiensi dengan Ketua Komisi Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) di kantor Komnas HAM, Jumat (20/4/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pilihan terbaik sesuai rekomendasi WHO adalah dengan menciptakan lingkungan yang 100 persen bebas asap rokok. Caranya tidak lagi dengan ruangan khusus merokok yang ada di dalam gedung, melainkan sebuah ruang atau tempat khusus yang lokasinya berada di ruang terbuka yang terpisah dari gedung.
"Dahulu pengetahuan masih terbatas, sehingga asal ada di ruang merokok maka merokok dianggap tidak masalah. Tapi ternyata tidak, selain asapnya masih bisa keluar juga partikel-partikel dari asap rokok bisa menempel di perabotan yang ada di ruangan tersebut dan menyebabkan dampak bagi yang namanya perokok tersier," jelas dr Wid.
Istilah perokok tersier atau third hand smoker merujuk pada korban-korban asap rokok yang menghirup racun dari partikel yang tertinggal di perabotan. Anak-anak dan ibu rumah tangga yang tidak merokok secara aktif paling potensial jadi perokok tersier jika suaminya merokok di dalam rumah, meski hanya merokok saat anak istrinya tidak di rumah.
(up/nik)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini