Lazimnya orang menikah, pihak calon suami melamar calon istri. Tapi di Lamongan, justru sebaliknya, perempuan melamar pria. Meski tradisi perempuan melamar pria mulai terkikis, tetapi keunikan ini layak diceritakan sebagai bagian budaya yang pernah eksis karena memiliki sejarah di masa lalu.
Tradisi perempuan melamar pria ini diberi nama Ganjuran tergolong unik. Tradisi turun temurun ini sudah ada sejak masa pemerintahan Raden Panji Puspokusumo, penguasa Lamongan pada 1640 - 1665. Seperti apa tradisi Ganjuran ini?
Seperti dialami Safari, warga Kecamatan Karanggeneng, Lamongan. Safari mengenang bagaimana dulu orangtua calon istrinya datang ke rumah untuk melamarnya menjadi suami bagi putrinya. Setelah itu dibalas dengan kunjungan orangtuanya ke rumah orang yang sekarang menjadi istrinya untuk memberi jawaban atas permintaan calon mempelai perempuan.
Usai melakukan ganjuran, kedua keluarga kemudian bersepakat untuk menentukan hari H pernikahan.
"Dulu mertua saya yang datang ke rumah untuk melamar saya. Ketika itu (Saat ganjuran), ya bawa makanan atau jajanan semampunya saja," kenang Safari kepada detikcom, Selasa (23/11/2021).
Namun berbeda dengan salah satu pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan, Iyan dan Hilda. Mereka mengaku dari awal tidak memakai tradisi perempuan melamar pria seperti yang dikenal luas di Lamongan.
Hal senada diungkapkan Muhammad (46). Warga Gumining, Kecamatan Tikung, ini pernah dilamar calon istrinya 20 tahun lalu. Saat itu calon istrinya, membawa keluarga melamar dirinya ke Pandaan, Pasuruan.
"Dulu saya dilamar pihak keluarga istri, lalu keluarga saya membalas dengan mendatangi keluarganya. Lalu ditentukan hari pernikahannya," jelas Muhammad kepada detikcom.
Dia mengaku saat itu memang tradisi ganjuran masih lekat dan dipegang kuat warga Lamongan atau keluarga calon istrinya.
"Ya seneng aja dilamar perempuan, ikut tradisi warga Lamongan. Sebab di daerah saya, pria yang melamar perempuan, bukan sebaliknya," tandasnya.
Sementara salah satu pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan, Iyan dan Hilda mengaku dari awal mereka tidak memakai tradisi perempuan melamar laki-laki seperti yang dikenal luas di Lamongan.
"Kemarin biasa saja mas, seperti yang umum, tidak seperti tradisi yang dikenal Lamongan. Ya karena saya tidak tahu soal tradisi ini. Orangtua juga tidak meminta tradisi ini (Ganjuran) juga," tegas Iyan.
Kabid Kebudayaan Disparbud Lamongan Mifta Alamuddin mengakui jika sebagian warga Lamongan masih ada yang menganut tradisi unik sebelum pernikahan ini. Tradisi unik yang jarang dijumpai di tempat lain itu adalah tradisi di mana perempuan yang melamar laki-laki.
"Tradisi perempuan melamar atau ngganjur laki-laki ini di sebagian warga masih ada yang menjalankannya," kata Mifta Alamuddin saat berbincang dengan detikcom.
Dia menyebut dalam tradisi lamaran ini sendiri terdapat beberapa tahapan yang pertama adalah Njaluk atau meminta. Tahap berikutnya adalah ganjuran yang berarti lamaran. Pada tahap ini, pihak perempuan melamar pihak laki-laki lalu selang beberapa hari pihak laki-laki akan membalas ganjuran tersebut ke pihak perempuan.
"Selama prosesi lamaran ini kedua belah pihak juga membawa seserahan berupa makanan atau jajanan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tahap ketiga ialah milih dino atau memilih hari baik untuk melangsungkan akad nikah," jelasnya.
Meski sudah langka, Mifta menyebut sebagian warga Lamongan masih ada yang menerapkan tradisi lamaran ganjuran. Mifta mengakui, dia sendiri ketika menikah dulu tidak mengikuti tradisi Lamongan ini karena beristrikan orang dari luar Lamongan.
"Saya (yang melamar) karena kebetulan istri saya dari luar Lamongan," akunya.