Suwandi (100) merupakan veteran perang pada zaman Agresi Militer Belanda II. Ia menyaksikan kebengisan pasukan Belanda dalam peristiwa tersebut di Banyuwangi.
Suwandi bercerita, dirinya bersama regu yang dipimpin oleh Darmin dan Broto, melawan penjajah yang mendarat di Banyuwangi. Kala itu, regu yang berjumlah puluhan pejuang itu tanpa dilengkapi senjata lengkap.
Senjata hanya diperuntukkan untuk perwira dan petinggi perang. Karena kalah senjata, akhirnya mereka dipukul mundur oleh Belanda. Tak hanya itu, jumlah personel pun kalah dari Belanda yang datang pada saat itu.
"Ada yang renang ke Bali, ada yang sembunyi di Purwo (Alaspurwo). Karena saya tidak bisa renang ya akhirnya mundur sampai ke Gunung Raung," ujarnya kepada wartawan, Kamis (11/11/2021).
Setelah berhari-hari di masa pelarian, regu perlawanan Suwandi hanya menyisakan 6 orang. Belasan rekannya sudah gugur terlebih dahulu. Regu ini dipimpin oleh Darmin dan Broto, dua orang tentara yang Suwandi sendiri tidak mengetahui dari mana asalnya.
"Tinggal enam orang saja. Saya, Pak Darmin dan Pak Broto. Terus ada juga Slamet Cokro, Jendul dan Sukri Ilyas," ucap Suwandi sembari mengenang wajah rekannya dulu.
Suwandi tidak mengingat secara pasti, berapa jarak yang ia tempuh hingga sampai di kaki Gunung Raung. Bersama anggota regu yang masih hidup, Suwandi berusaha menyelamatkan diri. Sampai di sebuah perkampungan, enam orang yang selamat ini kemudian memutuskan untuk beristirahat.
Belum pulih stamina mereka, lagi-lagi militer Belanda melacak keberadaan mereka. Di perkampungan ini (saat ini bernama Dusun Sidomulyo), Suwandi menyaksikan rekan-rekannya dieksekusi mati oleh militer Belanda. Tidak hanya itu, pribumi setempat juga menjadi sasaran kebrutalan penjajahan.
"Jendul teman saya ditangkap. Sudah saya bilang jangan pulang, malah keluar. Akhirnya ditangkap. Pagi-pagi langsung ditembak. Sedangkan saya lari," kata Suwandi sambil menunjuk arah utara di mana rekannya mati.
Sedangkan rekan lainnya, Sukri bersembunyi di tempat kerumunan orang yang sedang kerja bakti membangun rumah. Di sini, Sukri juga dieksekusi mati bersama beberapa pribumi lainnya.
Simak juga 'Harapan Warga di Hari Pahlawan: Lanjutkan Perjuangan-Pandemi Berakhir':
"Saya lihat teman saya ditembak, duaaarr! Waduh kalau ini saya mendekat saya juga ikut ditembak. Akhirnya saya lari ke utara, ke Watu Gedhek. Lebih masuk ke dalam hutan," ucapnya.
"Duh gimana ya, ini kan orang-orang sedang kerja bakti akan membenahi rumah, kok malah ditembaki loh. Ya mati semua. Wah edan beneran ini tentara Londo (belanda)," imbuh Suwandi.
Sedangkan Slamet Cokro, mendengar suara tembakan langsung melarikan diri ke arah timur. Tak disangka, Slamet Cokro justru berpapasan dengan regu militer Belanda lainnya di arah yang ia tuju.
"Slamet ini terjebak. Dia lari terus ketemu Belanda dan sembunyi di sungai. Setelah ketahuan langsung ditembak. Saya dengar suara tembakannya," katanya.
"Waduh ada tembakan lagi. Temanku Slamet mati itu," batin Suwandi saat mendengar sumber tembakan dari arah Slamet Cokro bersembunyi.
Hingga kini, kata Suwandi, Patung Slamet Cokro diabadikan di Desa tersebut. Setelah merasa aman, Suwandi kemudian keluar dari persembunyian. Dia mencoba melihat bagaimana situasi kala itu. Suwandi pun kaget, banyak teman dan penduduk sekitar yang mati. Dia menyaksikan begitu banyak mayat bergelimpangan di hari itu.
Sedangkan dua rekan lainnya, Broto dan Darmin memutuskan untuk melanjutkan pelarian mereka. Darmin berlari ke arah selatan, sedangkan Broto masuk ke arah utara memasuki hutan kaki Gunung Raung.
Suwandi memilih untuk bertahan bersama penduduk kampung setempat dan menetap hingga sekarang. "Pak Darmin katanya mau pulang, arahnya ke Jember. Tiga rekan saya lainnya yang mati dikubur di sini, di Dusun Sidomulyo," pungkas sang veteran.