Pasien klinik kecantikan di Surabaya, Stella Monica Hendrawan dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik usai curhat di medsos hingga terancam pidana 1 tahun penjara dan denda Rp 10 juta. Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur menyebut Stella merupakan korban.
Ketua YLPK Jatim, Muhammad Said Sutomo mengatakan Stella merupakan korban karena mengalami kerugian. Said mengatakan Stella tak seharusnya dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik.
YLPK berpendapat Stella berhak mendapat perlindungan yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam hal mengeluarkan pendapat dan keluhan.
Said mengatakan status Stella sebagai konsumen Klinik Kecantikan L'VIORS ini sudah jelas. Karena ada transaksi, sehingga muncul hak dan kewajiban konsumen dengan pelaku usaha. Hal ini tercantum dalam pasal 4, pasal 5 pasal 6 dan pasal 7 UU Perlindungan Konsumen.
"Seharusnya pakai UU Perlindungan Konsumen. Dia ini jadi korban, mengalami kerugian," kata di Surabaya, Sabtu (30/10/2021).
Baca juga: Balada Pasien Klinik Kecantikan Surabaya, Wajah Terasa Terbakar-Dituntut 1 Tahun Penjara |
Said menyebut apa yang dilakukan Klinik L'VIORS dengan melaporkan seorang konsumennya sendiri merupakan bentuk kriminalisasi.
"Ini kriminalisasi, nggak bisa dong. Hak konsumen itu hak untuk didengar keluhannya, itu ada di dalam UU," imbuh Said.
Said menyebut apa yang dilakukan Stella dengan mengeluhkan kondisi wajahnya di media sosial, merupakan hak konsumen. Dia mengatakan hal ini bukan suatu kejahatan. Apalagi, sampai dijerat Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 3 UU RI No 19 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang UU ITE.
"Pendapat dan keluhan konsumen Stella kepada L'VIORS di media sosial, bukan termasuk actus reus atau perbuatan melanggar pidana," ungkap Said.
Said mengatakan, Stella sudah beberapa kali komplain, namun tidak mendapat respons baik dari Klinik L'VIORS. Hingga akhirnya, Stella mengunggah curhatannya di media sosial.
Simak juga 'Banyak Remaja Pelaku Penodaan Agama Dijerat UU ITE':
Untuk itu, Said mengimbau setiap pelaku usaha membuka akses layanan komplain. Agar ketidakpuasan konsumen bisa disalurkan di sana.
"Siapapun yang di posisi begitu akan melakukan umpatan di media sosial, karena tidak ada saluran. Seharusnya setiap pelaku usaha membuka akses untuk komplain. Pengusaha juga harus ada jaminan bahwa produknya itu tidak akan mengecewakan," imbuh Said.
Kasus Stella ini bermula gegara curhatannya pada Desember 2019. Saat itu, dia mengeluhkan layanan Klinik L'VIORS yang tak sesuai harapannya melalui postingan di media sosial, Instagram.
Tak terima dengan postingan Stella, pihak L'VIORS kemudian mengirim somasi pada 21 Januari 2020. Dalam somasinya, Stella harus melakukan permintaan maaf di media massa setengah halaman dalam tiga kali penerbitan.
Namun permintaan itu, dianggap terlalu berat oleh Stella karena butuh dana yang besar. Stella sendiri telah berinisiatif mengunggah video permintaan maaf di media sosial. Namun pihak L'VIORS meminta menghapusnya.
Baca juga: YLPK Sebut Kasus Stella Curhat di Medsos Bukan Perbuatan Melanggar Pidana |
Dianggap tidak merespon somasi, pada 7 Oktober 2020, Polda Jatim menetapkan Stella sebagai tersangka. Berkas Stella ini dilimpahkan ke kejaksaan dan mulai menjalani sidang pada 22 April 2021.
Dalam sidang perdananya, Stella didakwa melanggar Pasal 27 Ayat 3 Jo Pasal 45 Ayat 3 UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Kemudian pada sidang tuntutan 21 Oktober, jaksa menuntut 1 tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider 2 bulan kurungan. Usai mendengar tuntutan tersebut, Stella mengajukan pembelaan pada 28 Oktober 2021.
Sambil terisak menangis, Stella menyebut bahwa dirinya sengaja dibungkam untuk tidak mengatakan hal-hal buruk kepada klinik kecantikan L'VIORS. Menurut Stella, sebagai pihak penyedia jasa atau klinik kecantikan, sudah seharusnya bisa menerima hal baik dan buruk dari konsumen. Namun hal itu tidak dilakukan Klinik L'VIORS, sehingga membuatnya menjadi pesakitan di kursi sidang.
"Seharusnya sebagai penyedia layanan jasa harus siap menerima feedback baik dan buruk dari konsumennya. Jangan maunya terima feedback yang bagus hanya demi popularitas dan nama baik semata agar dinilai orang sebagai klinik yang tidak pernah gagal mengobati pasien-pasien," papar Stella dalam pembelaannya.