Candi Tribhuwana Tunggadewi atau biasa disebut Situs Bhre Kahuripan atau Situs Watu Ombo terletak di persawahan Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Mojokerto. Ekskavasi tahun 2018-2020 berhasil menemukan bangunan candi 14x14 meter persegi.
Sedangkan ekskavasi tahap empat 27 September-23 Oktober 2021 mendapat temuan baru di sebelah barat candi. Struktur bata kuno seluas 20x15 meter persegi itu diperkirakan bangunan mandapa yang dikelilingi pagar. Mandapa sebagai tempat pemujaan masyarakat Majapahit menghadap ke Candi Tribhuwana Tunggadewi.
"Kami sudah yakin sekali Situs Bhre Kahuripan sebagai kompleks bangunan pemujaan dengan latar belakang Agama Hindu Siwa," kata Ketua Tim Ekskavasi Situs Bhre Kahuripan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim Pahadi kepada detikcom, Jumat (22/10/2021).
Merujuk pada angka tahun yang diukir pada batu yoni Situs Bhre Kahuripan, lanjut Pahadi, kompleks bangunan pemujaan ini dibangun pada masa Raja Hayam Wuruk 1350-1389 masehi. Karena ukiran pada salah satu sisi yoni menunjukkan angka tahun 1294 saka atau 1372 masehi. Tahun itu pula ibu Hayam Wuruk, Tribhuwana Tunggadewi wafat.
"Kalau dilihat dari yoni, berawal dari masa Hayam Wuruk. Namun, sebuah candi dibangun tidak langsung jadi, biasanya mempunyai beberapa angka tahun. Sebuah candi memang biasa dikerjakan oleh beberapa periode raja, tidak sekaligus selesai masa satu raja," terangnya.
Hanya saja, Pahadi berpendapat pembangunan Candi Tribhuwana Tunggadewi pada zaman Majapahit tidak sampai tuntas. Karena tidak ada satu pun batu pada dinding candi yang dipahat halus. Selain itu, tim ekskavasi juga tidak menemukan fragmen batu berelief yang biasa dipasang pada dinding candi.
Arkeolog BPCB Jatim ini menjelaskan satu-satunya bagian candi di Situs Bhre Kahuripan yang dipastikan selesai dibuat pada masa Majapahit hanya batu yoni. Karena terdapat ukiran angka tahun peresmian pada salah satu sisi batu tersebut. Yaitu tahun 1294 saka atau 1372 masehi.
Batu berdimensi 191x184x121 cm ini sebagai perwujudan Dewi Parwati. Dalam kepercayaan Hindu Siswa masa Majapahit, yoni dilengkapi dengan batu lingga sebagai representasi Dewa Siwa. Lingga dan yoni melambangkan kesuburan. Sayangnya sampai saat ini tidak ditemukan lingga di Situs Bhre Kahuripan.
Meski begitu, keberadaan yoni sudah cukup menjadi bukti Candi Tribhuwana Tunggadewi menjadi tempat pemujaan terhadap Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Selain itu, bangunan suci ini diperkirakan juga untuk mendarmakan sosok raja atau ratu pendahulu Hayam Wuruk.
"Candi ada yang berfungsi sebagai pemujaan saja, ada yang fungsinya ganda untuk pemujaan dan pendaramaan tokoh tertentu. Untuk Situs Bhre Kahuripan ini kami belum bisa meyakinkan, kami mencoba agar interpretasi yang dibangun tak sekadar mengikuti keyakinan masyarakat," jelas Pahadi.
Ia mengaku sempat sependapat dengan keyakinan masyarakat setempat Situs Bhre Kahuripan merupakan candi untuk mendermakan Tribhuwana Tunggadewi. Interpretasi tersebut ternyata masih memerlukan kajian lebih mendalam.
Sebab tidak sesuai dengan konsep srada yang dianut pada zaman Majapahit. Yaitu upacara pemujaan arwah leluhur setelah 12 tahun kematiannya. Seperti diketahui, Tribhuwana Tunggadewi wafat tahun 1372 masehi. Tahun itu pula batu yoni Situs Bhre Kahuripan selesai dibuat dan diresmikan.
"Awalnya kami sepakat dengan masyarakat ini untuk Tribhuwana. Belakangan kami mencoba berasumsi yang lain. Karena tidak sesuai konsep srada yang melekat pada Hindu dan Budha. Di Naskah Negarakertagama disebutkan Hayam Wuruk mengadakan srada untuk neneknya, Gayatri. Artinya konsep itu dianut dan dilakukan oleh raja," tandasnya.