Setelah ekskavasi selama 10 hari, tim arkeolog menyimpulkan, Situs Watu Kucur di Jombang adalah bekas bangunan suci Agama Hindu. Tempat pemujaan Dewa Siwa dan Dewi Parwati ini diperkirakan berasal dari zaman jauh sebelum Majapahit.
Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim Muhammad Ichwan mengatakan, bangunan kuno di Situs Watu Kucur merupakan bangunan suci Agama Hindu Siwa. Pada zaman dulu kala, bangunan ini digunakan untuk memuja Dewa Siwa dan Dewi Parwati.
Hipotesis tersebut dibuktikan dengan temuan batu yoni di Situs Watu Kucur. Batu berdimensi 100x100x96,5 cm itu merupakan representasi Dewi Parwati.
Sayangnya, batu lingga sebagai perwujudan Dewa Siwa sampai saat ini belum ditemukan. Hanya terdapat lubang tempat lingga berukuran 25,5 x 25,5 cm dan sedalam 49 cm tepat di tengah permukaan yoni.
"Penyatuan lingga dan yoni melambangkan kesuburan dan sarana pemujaan terhadap Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Ini latar belakangnya Agama Hindu Siwa," kata Ichwan kepada detikcom di lokasi ekskavasi, Sabtu (16/10/2021).
Berbeda dengan yoni di Situs Bhre Kahuripan, Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Mojokerto, yoni Situs Watu Kucur sangat sederhana. Karena yoni di Situs Watu Kucur dibuat polos tanpa hiasan ukiran.
"Kami belum bisa memastikan ini tempat pemujaan bagi masyarakat kalangan apa. Apakah bangunan suci di kota atau di tempat yang jauh dari kota kami belum bisa memastikan karena belum ada data pendukungnya," terang Ichwan.
Sampai hari terakhir ekskavasi, Ichwan belum bisa memastikan masa pembangunan tempat pemujaan yang ditemukan di Situs Watu Kucur. Karena tim arkeolog belum mendapatkan petunjuk apapun sebagai dasar periodesasi struktur purbakala ini.
"Kami belum bisa memastikan apakah dari masa Majapahit atau sebelum Majapahit. Karena kami belum dapatkan informasi, baik berupa inskripsi angka tahun di sini, maupun objek ini disebutkan dalam Prasasti apa, dibangun pada masa siapa," jelasnya.
Periodesasi Situs Watu Kucur, lanjut Ichwan, baru sebatas dengan menganalisis karakter bata merah yang digunakan membangun struktur pada masa lalu. Terdapat tiga macam ukuran bata merah kuno di situs ini. Yaitu 29x19x5 cm, 36x21,5x7,5 cm, serta 30x20,5x9 cm. Tempat pemujaan ini disinyalir dibangun pada masa Mpu Sindok, penguasaan Kerajaan Medang.
"Secara umum ukuran batanya tebal dan panjang, ukuran batanya hampir sama dengan Candi Gentong satu rangkaian dengan Candi Brahu yang diperkirakan dari abad 10 masa Kerajaan Medang. Bata masa Majapahit tebalnya 7-8 cm, kalau di sini 9-10 cm," cetusnya.
Ketua Tim Ekskavasi Situs Watu Kucur ini menjelaskan, Candi Brahu dan Candi Gentong merupakan peninggalan Kerajaan Medang pada masa Mpu Sindok tahun 929-947 masehi. Kedua candi tersebut terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto sekitar 1,5 Km di sebelah timur laut Situs Watu Kucur.
![]() |
Sementara Kerajaan Majapahit baru berdiri tahun 1293 masehi. Menurut dia, Candi Brahu dan Gentong diyakini tetap difungsikan sampai zaman Majapahit. Keduanya terletak di Wilwatiktapura atau Kota Raja Majapahit.
"Walaupun di Kota Raja Majapahit, terdapat bangunan suci sebelum Majapahit. Bisa kita lihat Candi Brahu dan Candi Gentong. Candi Brahu disebutkan dalam Prasasti Alasantan masanya Mpu Sindok. Namun, kami belum bisa memastikan ini (Situs Watu Kucur) dari masa Mpu Sindok," tandas Ichwan.
Situs Watu Kucur ditemukan di lahan milik Setyo Budi, warga Desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto. Bangunan suci tersebut terletak di perkebunan tebu Dusun Penanggalan, Desa Dukuhdimoro, Kecamatan Mojoagung, Jombang. Lahan ini dulunya punden yang dianggap keramat oleh warga setempat selama puluhan tahun.
Ekskavasi terhadap Situs Watu Kucur baru digelar BPCB Jatim selama 10 hari, yakni 7-16 Oktober 2021. Tim arkeolog fokus menggali area seluas 15x15 meter persegi.