Kerajinan besek bambu di desa ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu, dan bertahan sampai hari ini. Setiap hari, kaum hawa terutama ibu rumah tangga sibuk membuat besek di teras atau di depan rumah. Jemari mereka lincah menganyam bambu yang sudah dibentuk tipis.
Mereka biasanya mulai menganyam setelah pekerjaan rumah atau pekerjaan utama selesai dilakukan. Memanfaatkan waktu luang mereka membuat perkakas yang menghasilkan uang.
Fatimah (43), seorang perajin mengaku kerajinan besek tetap bertahan karena masih ada pasar. Setiap seminggu atau dua minggu sekali, beberapa tengkulak datang mengambil besek.
"Saya sudah 10 tahun buat besek. Mulai harga Rp 15 ribu setiap seratus besek hingga Rp 150 ribu seratus besek sekarang," kata Fatima, Rabu (29/9/2021).
Fatima mengaku, setiap minggu bisa menghasilkan 100 sampai 200 buah besek bambu atau lebih. Ia mengaku tidak menarget produksi.
"Pokoknya kalau waktu luang ya bikin besek," terangnya.
Perajin besek bambu lain, Ponitin (41) mengaku membuat besek di sela-sela pekerjaannya berjualan bakso. Dari hasil membuat besek, ia bisa menambah penghasilan.
Di desa ini terdapat 13 orang yang masih rutin membuat besek. Setiap minggu rata-rata mereka bisa mengantongi uang Rp 300 ribu hingga Rp 450 ribu.
Kerajinan besek bambu di desa ini tetap bertahan juga karena bahan baku bambu yang mudah didapat. Para suami biasanya mengambil bambu di sekitar permukiman, kemudian diolah menjadi bahan siap anyam.
"Bambu tinggal ambil di belakang rumah," kata Sugiono, yang tengah memotong bambu untuk dijadikan bahan anyaman besek istrinya.