Bangunan utama yang diyakini sebagai istana Kudamerta atau Bhre Wengker dan istrinya, Dyah Wiyat atau Bhre Daha ditemukan di bagian timur Situs Kumitir. Yaitu tepat di sebelah barat makam Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Mojokerto.
Sisa-sisa fondasi istana seluas 20x26 meter persegi itu terbuat dari bata merah kuno dan batu atau bolder. Struktur istana ini dikelilingi dinding persegi panjang dengan ukuran 316x203 meter. Dinding sisi barat merupakan gerbang sekaligus benteng istana.
Ketua Tim Ekskavasi Situs Kumitir dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim Wicaksono Dwi Nugroho mengatakan, Situs Kumitir merupakan istana Bhre Wengker dan Bhre Daha. Selain berbagai temuan arkeologi di lokasi, pihaknya juga merujuk pada Naskah Negarakertagama dan beberapa peta rekonstruksi peneliti Belanda.
"Kami menduga Situs Kumitir istana Bhre Wengker dan Rani Daha yang disebutkan dalam Negarakertama sebagai istana ajaib Bhre Wengker dan Rani Dhaha," kata Wicaksono kepada detikcom di lokasi, Kamis (30/9/2021).
Ia menjelaskan, selama ini para ahli sebatas meyakini Kota Raja Majapahit atau Wilwatiktapura berada di Trowulan, Mojokerto. Selain banyaknya situs purbakala yang ditemukan di wilayah ini, teori tersebut juga didukung catatan Sekretaris Laksamana Ceng Ho, Ma Huan dari Tiongkok.
Hanya saja, selama puluhan tahun belum satu pun ditemukan bukti arkeologi istana Majapahit. Oleh sebab itu, Situs Kumitir kini bisa menjadi jawaban pertanyaan tersebut.
"Ketika Situs Kumitir ditemukan, kami duga istana timur Majapahit karena dikelilingi dinding atau benteng seluas enam hektare. Merujuk pada peta rekonstruksi peneliti Belanda tentang posisi Situs Kumitir, serta naskah Negarmetergama, cocoklah Situs Kumitir adalah istana timur Majapahit. Bila ini benar istana timur, maka kami bisa mencari istana barat," terang Wicaksono.
Istana timur Majapahit yang diyakini di Situs Kumitir, lanjut Wicaksono, ditempati Bhre Wengker dan Bhre Daha. Sedangkan istana barat ditempati Tribhuwana Tunggadewi atau Dyah Gitarja yang selanjutnya diwariskan ke putranya, Hayam Wuruk.
Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat merupakan putri pendiri Majapahit, Raden Wijaya dengan Dyah Gayatri atau Rajapatni. Untuk mencegah perebutan kekuasaan dua bersaudara tersebut, dibangunlah dua istana di Wilwatiktapura atau Kota Raja Majapahit.
"Kami mendapatkan gambaran bahwa pada Kota Raja Majapahit ada dua istana, istana barat dan timur. Karena pada masa Tribhuwana Tunggadewi dia mempunyai adik yang sama-sama mempunyai hak, dikuatkan juga istana timur yang kami duga Situs Kumitir ini, dengan harapan menciptakan kerukunan pada masa Majapahit. Tantangan ke depan bagaimana kita menemukan istana barat milik Tribhuwana Tunggadewi yang diteruskan Hayam Wuruk," jelasnya.
Perebutan kekuasaan pada zaman Majapahit, menurut Wicaksono, berusaha dicegah pada masa Jayanegara. Putra Raden Wijaya dengan Dara Petak atau Indreswari itu melarang kedua adik tirinya, Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat menikah.
![]() |
Kedua putri pendiri Majapahit itu baru menikah setelah Jayanegara wafat. Tribhuwana menikah dengan Bhre Tumapel atau Kertawardhana. Pasangan ini mempunyai anak Hayam Wuruk. Sedangkan adiknya menikah dengan Kudamerta atau Bhre Wengker. Pernikahan Bhre Daha dengan Kudamerta melahirkan Paduka Sori atau Prameswari.
Pertikaian di Majapahit baru terjadi melibatkan keturunan Hayam Wuruk. Raja Majapahit paling terkenal ini mewariskan tahtanya kepada Wikramawardhana, buah pernikahan dengan Prameswari. Hayam Wuruk juga mempunyai anak dari selir, yaitu Bhre Wirabhumi.
"Wirabhumi diangkat anak oleh Bhre Daha dan dibesarkan di istana timur Majapahit. Wirabhumi menikah dengan cucu ibu angkatnya, Nagarawardhani dan dijadikan Bhre Lasem. Sebenarnya Wirabhumi sudah mengalah, tapi Wikramawardhana mengganti jabatan Wirabhumi sehingga memicu Perang Paregreg antara Majapahit barat dan timur (1404-1406 masehi)," pungkasnya.