Dalam sepekan, Jawa Timur sedang ramai diperbincangkan soal surat pemanggilan kasus dugaan korupsi anggaran pemakaman COVID-19 di Jember. Hingga polisi turun tangan dan memanggil sejumlah pejabat. Salah satunya Bendahara BPBD Jember, Siti Fatimah.
Dia dimintai keterangan terkait dugaan korupsi anggaran monitoring dan evakuasi pemakaman COVID-19. Selain dimintai keterangan, Fatimah juga diminta membawa sejumlah dokumen. Di antaranya dokumen surat perintah membayar, dokumen pembayaran honor pejabat dan petugas BPBD serta dokumen pembayaran honor petugas lain. Siti dimintai keterangan Polres Jember sekitar 2 jam, Jumat (27/8/2021).
"Tadi tidak lihat jam (Datang ke polres pukul berapa tepatnya). Tapi saya datang sesuai (surat) panggilan itu (pukul 09.00 WIB). Selesai dari mengerjakan tugas (di BPBD Jember), saya datang ke polres," kata Siti saat dikonfirmasi sejumlah wartawan.
Untuk dokumen yang dibawa, lanjut Sifa, disiapkan sesuai dengan permintaan yang disampaikan lewat surat pemanggilan polisi. Dia enggan menjelaskan lebih detail tentang materi apa saja yang ditanyakan penyidik.
"Secara teknis saya hanya datang ke Mapolres Jember memenuhi panggilan dari kepolisian. Maaf Mas saya buru-buru mau kembali ke kantor," ujarnya lalu meninggalkan wartawan.
Polisi menyelidiki kasus dugaan korupsi anggaran pemakaman COVID-19 di Jember. Meski honor pemakaman COVID-19 legal, namun diduga ada yang melakukan korupsi.
Bupati Jember Hendy Siswanto mengakui menerima honor dari anggaran susunan petugas pemakaman COVID-19 hingga Rp 70 juta. Honor ini diklaim sah dan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Besaran honor yang diterima Hendy, Sekda dan dua pejabat BPBD Jember sama. Yakni Rp 100 ribu per pemakaman. "Memang benar saya menerima honor sebagai pengarah, karena regulasinya ada itu, ada tim di bawahnya juga. Kaitannya tentang monitoring dan evaluasi (Monev)," kata Hendy, Kamis (26/8/2021).
"Besaran honor itu setiap pemakaman atau ada yang meninggal Rp 100 ribu. Kalau tidak salah. Untuk jumlahnya kok sampai kurang lebih Rp 70,5 juta? Karena itu total dari banyaknya korban yang meninggal akibat COVID-19 itu, 705 orang," jelasnya.
Menurut Hendy, honor yang diterimanya itu sesuai dengan regulasi yang ada dan sudah ditentukan. "Terus terang saja, adanya honor itu sesuai dengan regulasi. Saya juga taat dengan regulasi yang saya ikuti," terangnya.
Lihat juga Video: Jenazah Pasien Corona Telantar di Pemakaman, Satgas Jambi Salahkan RS
Secara regulasi, kata Hendy, hal itu sudah lumrah dan ada di setiap pemerintahan di Indonesia. Termasuk kaitan tentang pemakaman COVID-19.
Dia menjelaskan, honor itu diserahkan ke keluarga almarhum yang kurang mampu. Tujuannya untuk membantu meringankan beban dari keluarga almarhum.
"Disampaikan kepada keluarga yang kurang mampu. Kalau yang (dinilai) sudah mampu tidak dapat," imbuhnya.
Ketua DPRD Jember, M Itqon Syauqi menanggapi soal bupati dan sekda yang menerima honor dari anggaran susunan petugas pemakaman COVID-19. Ia menyarankan bupati mengubah SK.
Sehingga dalam SK itu, bupati sebagai pengarah tidak perlu mendapat honor pemakaman COVID-19.
"Ya cukup petugas pemakaman saja yang dapat honor. Mungkin itu saja saran saya," kata Itqon.
Sebab menurut Itqon, honor yang bersumber dari anggaran pemakaman COVID-19 memang rentan menimbulkan polemik di masyarakat. Terutama jika dipandang dari sudut etika.
"Yang memang rawan dari sisi etika. Sebab sumbernya dari pemulasaraan. Kesannya kan kayak gimana gitu," ujarnya.
Sementara kasus yang menyita pembaca salah satunya sebuah rumah di Surabaya tiba-tiba ambruk. Ambruknya rumah di Tambaksari Selatan Gang 4 itu menewaskan satu orang. Korban tewas yakni Fitri Rina Wulandari (38).
Saat itu korban menemani anaknya, Naufal Arianto (13) belajar daring di ruang tamu. Tiba-tiba saja, lantai 2 rumah yang berukuran 2,5x6 meter persegi itu ambruk dan menimbun 3 orang. Korban lainnya yakni ibunya Nani Sumarni (57) sedang berada di dapur.
Rumah ambruk itu terjadi Rabu (25/8/2021) sekitar pukul 08.30 WIB. Fitri dinyatakan meninggal di RSU dr Seotomo saat mendapat perawatan. Sementara Naufal dan Nani sesak nafas dan mendapat bantuan oksigen.
Saat ambruk, Musa Harianto (38) berada di bengkel tempat kerjanya kawasan Kenjeran. Warga lantas menghubungi suami korban dan mengabarkan keluarganya mengalami musibah.
Kapolsek Tambaksari Kompol Akhyar mengaku lantai dua bangunan tersebut terbuat dari kayu. Tiba-tiba saja lantai dua ambruk. Ambruknya lantai dua juga menyeret tembok yang semi permanen hingga ikut ambruk.
"Lantai dua yang ambruk. Bukan (dari) cor-coran, tapi kayu," ujar kapolsek kepada detikcom, Rabu (25/8/2021).
Polisi menyebut ambruknya lantai dari kayu itu karena kondisi kayu yang lapuk. Selain karena usia, lapuknya kayu tersebut juga dikarenakan rayap. Akhyar menyebut rumah itu sendiri dihuni sejak tahun 1960-an.
"Kayunya sudah lapuk. Barang yang ada di lantai dua juga cukup berat. Ada lemari kayu, kasur, etalase, perabot pakaian, tas, dan lainnya," tambahnya.
![]() |
Sementara hingga kini, anak korban belum mengetahui ibunya meninggal. Hal itu diungkapkan suami korban, Musa Harianto (39).
"Saya ga bisa keluar, masih mengurus rumah di sini. Sedangkan anak dijaga adik saya," tambah Musa.
Untuk neneknya Nani, jelas Musa, kondisinya sehat dan dirawat di rumah kawasan Kapasari. "Nenek Alhamdulillah sehat. Belum ke sini (Tambaksari) masih di Kapasari," ujarnya.
Dia mengaku sebelum rumahnya ambruk, dirinya akan memperbaiki rumahnya saat libur kerja. Namun naas peristiwa itu terjadi terlebih dulu dan merenggut nyawa istrinya.