Golkar Jatim menggelar doa dan tahlil untuk mengenang satu abad kelahiran Soeharto. Acara itu dinilai sebagai cara mengambil suara loyalis Soeharto yang terpecah ke banyak partai.
Pengamat Politik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Agus Mahfudz Fauzi menilai Golkar memang tidak lepas dari Soeharto. Menurut Agus, Golkar sedang berupaya mencari suara loyalis Soeharto (Soehartois) yang terpecah ke banyak partai.
"Bagaimanapun Golkar tidak bisa dilepas dari Pak Harto. Selama 32 tahun, dilihat dari positifnya Pak Harto, banyak masyarakat yang tentunya mencintai Pak Harto ketika itu. Saya kira wajar kalau Golkar mengejar suara loyalis Pak Harto, karena itu realistis," ujar Agus Mahfudz kepada detikcom, Rabu (9/6/2021).
Agus menyebut tugas Golkar untuk meraih suara dari loyalis Soeharto cukup berat. Yang pertama, para Soehartois ini sudah terpecah ke beberapa partai. Kedua, Soehartois saat ini mayoritas berusia sepuh. Diperlukan kecerdasan Golkar dalam mengola isu kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun dahulu untuk bisa diterima di masyarakat saat ini khususnya milenial.
"Secara jumlah banyak, namun mayoritas berumur sepuh. Nah orang tua ini kan tidak seberapa punya kepentingan politik. Tentu sekarang, bagaimana Golkar harus bisa membranding positifnya Pak Harto selama 32 tahun, agar masyarakat khususnya yang milenial bisa tertarik. Apalagi, bisa meraih suara milenial yang katakan kecewa akan rezim politik saat ini, dan diberikan cerita 32 tahun Pak Harto, saya kira hal itu bisa positif (buat Golkar)," bebernya.
Agus menjelaskan Golkar harus bisa mencontoh PDI, selama 32 tahun menjadi oposisi. Saat reformasi 1998, PDI berhasil memanfaatkan momentum kekecewaan masyarakat, sehingga pada tahun 1999 bisa memenangkan Pemilu dan mengantar Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI, yang berlanjut pada 2001 menjadi Presiden RI.
Lihat Video: Percapresan Dini Menuju 2024
"Namun, Golkar ini cenderung sejak orde baru, selalu berada di pemerintahan, sampai sekarang pun demikian. Ketika orba dulu, simbol Soekarnois merupakan simbol oposisi. Pada momentum yang tepat, mereka berhasil merebut kekuasaan dari Pak Harto. Posisinya sebenarnya relatif sama dengan apa yang terjadi dulu. Saat ini, Pak Harto dinilai tidak baik, sama seperti era Orba dulu, saat Bung Karno dinilai buruk di bawah rezim Pak Harto," terangnya.
Agus menilai jika Golkar bisa mengumpulkan seluruh suara Soehartois yang terpecah di beberapa partai, maka bisa menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan.
"Setiap proses event Pemilu, hasilnya menunjukkan Golkar di bawah pengaruh Pak Harto selalu jadi pemenang. Sekarang terpecah loyalis ini ke Gerindra, NasDem, Hanura, meski begitu, partai pecahan loyalis Soeharto ini masih mengacungi jempol ke era Pak Harto," ungkapnya.
"Kalau Golkar bisa mengelola isu positif 32 tahun Pak Harto dengan baik, dan bisa menyatukan faksi loyalis Pak Harto di beberapa partai menjadi satu, maka bisa jadi kekuatan yang diperhitungkan. Intinya bagaimana bisa mengelola isu kangen 32 tahun kepemimpinan Pak Harto, itu akan jadi nilai plus untuk Golkar," sambungnya.
Agus menambahkan, Golkar bisa sangat diuntungkan apabila bisa menampilkan sisi positif 32 tahun kepemimpinan Soeharto seperti halnya PDIP yang menampilkan Soekarno. Namun, jika Golkar gagal menampilkan sisi positif, maka masyarakat justru akan mengenang KKN di masa akhir jabatan Soeharto.
"Kalau publik bisa menerima, dan mengingat kembali kebaikan Soeharto yang sempat terlupakan, ini bisa untung. Tapi kalau gak bisa buat image baik, bisa-bisa berbalik arah, dalam artian level KKN di masa akhir beliau yang diingat masyarakat, meski sesungguhnya menurut saya, Pak Harto tidak bisa dikatakan untuk dilabeli buruk tersebut," pungkasnya.