Hari ini tepat 15 tahun gempa berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Pakar Geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Dr Amien Widodo mengajak masyarakat belajar sejarah untuk mitigasi saat ada bencana di masa mendatang.
Amien mengisahkan, berdasarkan sejarah ternyata gempa di Yogya bukan yang pertama. Namun merupakan yang ke tiga yang pernah diketahui. Pertama tahun 1867, kedua tahun 1943 dan ketiga tahun 2006.
"Gempa yang terjadi pada tahun 1867 tercatat di Babad Pakualaman karya permaisuri Paku Alam VI, Gusti Kanjeng Raden Ayu Adipati Paku Alam atau Siti Jaleka, disebutkan bahwa gempa berlangsung sekitar dua menit, menyebabkan tanah berjungkat, bagai diayun-ayun, bergetar bergoyang bagai hendak dicabut. Bumi dan langit seperti hendak menelungkup. Suara gemuruh di puncak gunung amat mengerikan. Ombak laut pun menjadi besar 'kocak-kocak' hingga air dan ikannya terangkat ke daratan," kata Amien kepada detikcom di Surabaya, Kamis (27/5/2021).
Namun, Amien menyayangkan catatan gempa Yogya tahun 1867 tidak tersosialisasikan di masyarakat. Padahal kejadian gempa Yogya tahun 2006 hampir mirip dengan tahun 1867.
"Sejarah gempa mempunyai arti penting untuk antisipasi gempa di masa depan sehingga risiko bencana bisa dikurangi. Tanggal kejadian dan skala gempa harus diingat semua orang yang bermukim di sekitar lokasi gempa tersebut. Sebab sangat mungkin terjadi lagi di tempat yang sama," ungkapnya.
Kendati demikian, Amien yang lahir di Yogya mengaku tak pernah mendapatkan pengetahuan akan gempa. Padahal, jika mempelajari sejarah, masyarakat juga akan sadar pentingnya belajar mitigasi gempa untuk menyelamatkan diri.
"Saya termasuk salah satu anak yang lahir dan besar di Yogya, bahkan kuliah saya di Teknik Geologi, tapi saya tidak pernah diberitahukan tentang adanya gempa itu dan tidak pernah dilatih tata cara menghadapi gempa itu. Oleh karenanya sangat dimaklumi masyarakat Yogya dan Jawa Tengah panik luar biasa," tambahnya
Akibat gempa 2006, Amien mengatakan laporan kerusakan dan kerugian dari PUPR dan Bappenas menyebutkan, tercatat ada 5.760 orang meninggal dunia, 29.277 orang luka berat, dan 7.863 orang luka ringan.
Selain itu, lebih dari satu juta orang menjadi pengungsi di tempat-tempat penampungan sementara. Kerugian fisik dialami oleh masyarakat yang kehilangan rumah yang roboh atau rusak berat atau tidak layak huni sebanyak 175.671 unit di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan 104.084 unit di Jateng.
"Kerugian fisik membengkak sangat besar karena gempa bumi juga menimbulkan kerusakan hebat pada fasilitas untuk berbagai kegiatan ekonomi produktif. Kerugian finansial akibat bencana gempa bumi tersebut diperkirakan sekitar Rp 29,1 triliun, dengan perumahan sebagai sektor yang paling banyak menderita kerugian Rp 15,3 triliun, disusul dengan sektor usaha produktif Rp 9 triliun, fasilitas publik (Rp 4 triliun, dan infrastruktur," papar Amien.
Simak video 'BMKG: 2021, Gempa Bumi di RI Rata-rata Satu Bulan 600-an':
Untuk itu Amien mengimbau masyarakat, terutama di wilayah yang pernah diguncang gempa seperti di pesisir Selatan Jawa, agar menjadikan hal ini sebagai pelajaran. Agar risiko bencana bisa dikurangi.
"Living harmony with earthquake. Pelajaran yang bisa diambil, kita semua, masyarakat Indonesia harus belajar dan mengenal gempa dan tsunami dengan baik dan benar sehingga saat terjadi gempa kita tidak panik, tahu tata cara menyelamatkan diri dan kita tahu atau bisa menyelamatkan orang lain. Anak saya yang terlahir dan besar di Surabaya juga harus tahu itu dan harapannya kalau sedang traveling di pantai selatan tahu tentang tsunami," jelas Amien.
"Salah satu contoh adalah seorang anak Inggris bernama Tilli Smith yang bisa menyelamatkan banyak orang karena dia tahu tentang tsunami yang diperoleh waktu di sekolah dasar, padahal semua orang tahu Inggris belum pernah terkena tsunami. Tilli Smith tahu dan bisa menyelamatkan orang," imbuhnya.
Amien juga mengimbau masyarakat mempelajari cara mitigasi bencana yang benar. Salah satu caranya dengan menggunakan bangunan yang tahan gempa.
"Kita semua, khususnya yang bermukim di kawasan pantai selatan yang rawan gempa dan tsunami, mulailah belajar gempa dan tsunami sehingga kita bisa selamat karenanya. Kalau kita amati bangunan yang ada sebagian masih banyak bangunan yang un-engenered atau bata ditumpuk, tanpa tulangan, baik itu rumah tinggal, sekolahan dan kantor sangat rentan terkena gempa. Apalagi berita terakhir ada bangunan sekolah yang roboh dengan sendirinya," ungkap Amien.
Selain itu, Amien juga menyoroti gempa di akhir-akhir ini terjadi bukan di jam istirahat atau jam sibuk masyarakat. Hal ini tentu tak sampai menelan banyak korban. Namun, bagaimana gempa yang terjadi saat orang-orang masih banyak yang terlelap seperti di Yogya 15 tahun lalu?
"Kita semua, masyarakat Indonesia masih untung, karena gempa dan tsunami yang beberapa tahun ini terjadi pada saat belum jam istirahat, bukan terjadi pada saat jam sibuk, jam masuk sekolah dan masuk kerja. Andai terjadi pada jam kerja dan jam sekolah maka korbannya akan sangat banyak dan mengerikan. Ribuan gedung sekolahan dan kantor rusak berat saat terjadi gempa Yogya dan Jawa Tengah, sehingga bisa dibayangkan kalau terjadi pada saat jam sekolah dan jam kerja. Ingatlah bahwa Gusti Allah masih menyayangi kita, masih menyentil kita, berfikirlah, berbenahlah untuk masa depan lebih baik," pesan Amien.
"Semuanya harus dijadikan pelajaran agar saat terjadi lagi gempa di masa depan risiko bencana bisa dikurangi," pungkasnya.