"Prinsipnya, larangan mudik dan sebagainya itu, setengah hati semua. Contohnya pelarangan mudik hanya 6-17 Mei. Orang mudik ya utamanya pekerja informal ya sebelum tanggal 6 Mei sudah mudik, bahkan ada pimpinan daerah yang malah menyarankan mudik aja sebelum 6 Mei. Ini artinya kita gak sungguh-sungguh," ujar Windu saat dikonfirmasi detikcom, Rabu (14/4/2021).
Bukan tanpa alasan Windu menyebut pemerintah setengah hati. Menurutnya, pada momen Ramadhan kali ini, pemerintah justru banyak memberi kelonggaran. Di antaranya dibolehkan salat tarawih, buka puasa bersama.
"Tahun lalu Ramadhan kasus harian 400-600, sekarang 4.000-6.000. Tapi lebih ketat tahun lalu, sekarang 10 kali lipat lebih banyak malah dilonggarkan, jadi ya setengah hati," ungkapnya.
Lebih lanjut, Windu juga menyoroti keputusan pemerintah membolehkan mudik di wilayah aglomerasi.
"Di wilayah aglomerasi bisa jalan ke sana ke mari, misalnya Surabaya-Mojokerto. Lalu orang toron, Surabaya-Bangkalan. Itu kan pergerakan. Virus gak membedakan, emang virus gak nyebar kalau perjalanan Surabaya ke Bangkalan? Terus aman gitu? lalu Jakarta-Surabaya menulari gitu? ya gak. Virus itu dibawa orang. Karena dekat, gak nular, gak gitu virus, bisa nyebar kemana saja," tegasnya.
"Sekarang relaksasi, mudik lokal lah, bioskop buka, tarawih boleh, buka puasa (bersama). Pemerintah harusnya melihat tren dunia saat ini yang kritis. Banyak kasus, negaranya COVID-19 turun, lengah dan naik. Semua karena pimpinan nasional, bagaimana sangat menentukan, lihat Brazil, India," sambungnya.
Windu melihat, penurunan kasus di Indonesia masih semu. Karena, kondisi Indonesia saat ini masih sama dengan bulan Desember tahun lalu.
"Saran saya, lihatlah perkembangan dunia, sense of crisis ini harus ada di pimpinan kita. Banyak contoh, India, kasus turun, lengah, lalu melonjak. Kita puncak Januari minggu ke-3, sekarang memang menurun, namun ini semua masih semu," tegasnya.
Windu menambahkan, bila pemerintah masih setengah hati, keputusan kembali di masyarakat. Apakah tetap merasa euforia atau waspada dengan risiko munculnya gelombang ke-2.
"Lihatlah tren dunia. Takutnya, nanti kita menghadapi gelombang ke-2 yang lebih berat," tandasnya. (iwd/iwd)