Akademisi Nilai Deklarasi Perdunu Bermuatan Politis di Masa Transisi Banyuwangi

Akademisi Nilai Deklarasi Perdunu Bermuatan Politis di Masa Transisi Banyuwangi

Ardian Fanani - detikNews
Kamis, 11 Feb 2021 18:27 WIB
perdunu
Pertemuan Dispar Banyuwangi dengan Perdunu (Foto: Ardian Fanani)
Jember -

Deklarasi Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) Indonesia menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat Banyuwangi. Sebab, organisasi yang diklaim sebagai wadah para dukun tersebut mengagendakan Festival Santet sebagai salah satu program kerjanya.

Akademisi menilai munculnya Perdunu Indonesia memiliki muatan politis kental pada masa transisi Banyuwangi.

Fenomena berdirinya Perdunu dan Festival Santet ini rupanya menarik perhatian pakar sosiologi dari Universitas Jember, DR. Sukidin. Menurut Sukidin, ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi berdirinya Perdunu dengan Festival Santet tersebut.

Kemungkinan pertama, berdirinya Perdunu ini juga patut diduga ada unsur politik yang melatarbelakanginya. Hal ini merujuk pada peristiwa tragedi Banyuwangi Tahun 1998 yang sebenarnya dilatarbelakangi pergolakan politik nasional.

Bisa jadi, kata Sukidin, berdirinya Perdunu ini untuk mencari sensasi mengingat Banyuwangi tengah berada pada masa peralihan kekuasaan. Apalagi, dalam sepuluh tahun terakhir Banyuwangi ibarat wanita seksi yang banyak digandrungi para lelaki.

"Bisa jadi juga seperti itu. Cuma skalanya tidak seperti Tragedi '98. Kalau 98 konstelasi politiknya kan nasional. Kalau ini, politik lokal. Artinya secara nasional agak jauh. Sekarang politik nasional belum ada momen, kayaknya ini bersifat lokal saja. Banyuwangi ini kan lagi seksi-seksinya. Bisa jadi ini test case untuk Bupati Banyuwangi pengganti Pak Anas. Mereka ingin punya panggung," ujar Sukidin kepada detikcom, Kamis (11/2/2021).

Menurut Sukidin, meski bersifat lokal persoalan ini bisa menjadi bola panas jika tidak disikapi secara bijak. Sebab, stigma negatif santet sudah sangat melekat dan membekas di masyarakat.

"Dari kacamata teori struktur, sosiologi makro, selagi tidak ada aktor (chaos) sulit terjadi. Tapi rentan kalau itu ditumpangi oleh aktor-aktor yang berkepentingan untuk membuat kekacauan. Bisa dari aspek politik maupun ekonomi," ujar Sukidin.

Tonton juga Video: Persatuan Dukun Nusantara Akhirnya Hilangkan Istilah Santet

[Gambas:Video 20detik]




Jika kemudian pemerintah daerah salah mengambil langkah, maka bisa terjadi benturan (vis a vis) antar kelompok masyarakat. Apalagi, masyarakat Banyuwangi dikenal sebagai masyarakat religi dan tradisional yang cukup kental. Ketika kelompok yang pro terhadap santet sebagai ilmu putih dihadapkan dengan kelompok yang menganggap santet sebagai ilmu hitam, maka kekacauan sulit dihindarkan.

"Karena kita dalam beragama sendiri juga rentan dibenturkan. Ada agama moderat, ada garis keras atau fundamental. Bisa tengkar sendiri. Itu dipecah belah. Dalam arti seperti itu. Masyarakat kita masih rentan. Ketika diisukan seperti itu, agama garis keras dan sebagainya, wah kamu begitu berarti kamu dan saya tidak sama. Padahal dia sama-sama Islam. Akhirnya terpecah belah bahkan terjadi benturan," tegas Sukidin.

Kemungkinan kedua, Perdunu benar-benar ingin mengembalikan khazanah bahwa santet atau ilmu perdukunan merupakan kearifan lokal Banyuwangi. Hal ini tidak lepas dari makna awal santet yang semula memilki arti ilmu putih atau white magic.

"Kalau kita tarik ke belakang, sebenarnya ilmu santet ini memiliki makna ilmu putih, seperti pengasihan, penglaris, bahkan penyembuhan. Atau dalam istilah agama disebut mahabbah. Meski dalam perkembangannya, santet kemudian mengalami pergeseran makna menjadi ilmu hitam atau sihir," kata Sukidin.

Meski ada potensi benturan, di sisi lain menurut Sukidin hal tersebut juga bisa menjadi peluang baru bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan sektor pariwisata Banyuwangi. Kearifan lokal tersebut jika dikemas dengan baik dengan menggunakan istilah yang lebih halus akan menghadirkan destinasi wisata baru di Bumi Blambangan.

Dia mencontohkan seperti seni tradisional tari seblang, jaranan, kebo-keboan dan seni budaya lainnya yang bersentuhan dengan ilmu gaib, namun ketika dikemas dengan baik dan ditonjolkan unsur seni budayanya justru menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

"Seperti kesenian tradisional, itu dulu kan sakral. Namun sekarang berubah dari tuntunan jadi tontonan. Kesakralan dan aroma mistisnya masih dipertahankan, di sisi lain orang tidak lagi takut karena itu menjadi sebuah pertunjukan yang memiliki daya tarik," tandas Sukidin.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.