"Ia dianiaya pada pukul 02.00 dini hari. Kemudian diseret dengan kendaraan hingga tewas. Kemudian, pada 3 September giliran Desa Watukebo, Blimbingsari yang jadi sasaran. Januri (60), dibantai massa yang beringas. Ia digantung hingga meninggal dunia," kata Bahrurrohim peneliti sejarah Bumi Blambangan yang tergabung dalam Komunitas Pegon Banyuwangi, Rabu (10/2/2021).
Total pada bulan September, kata Bahrurrohin, terdapat lebih dari 70 korban pembantaian dukun santet terdata. Mereka tersebar di hampir seluruh kecamatan di Banyuwangi. Saat itu, hampir setiap hari terjadi pembantaian di berbagai desa se-Kabupaten Banyuwangi. Pembantaian semakin menjadi-jadi.
"Pembantaian tidak hanya menyasar mereka yang dituduh dukun santet. Pembantaian juga menyasar para tokoh agama, khususnya yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama," ungkap pria yang biasa dipanggil Ayung ini.
Menurut Ayung, pembantaian dukun santet yang semakin tak terkontrol mulai membuat panik banyak pihak. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama dan seluruh kiai di Banyuwangi melakukan pertemuan pada 18 September.
Dalam pertemuan tersebut, diserukan bahwa membunuh orang dengan cara disihir merupakan perbuatan haram. Begitu juga dengan membunuh para dukun santet dengan tanpa proses hukum, juga diharamkan.
Akan tetapi, seruan tersebut tak mampu meredam histeria massa yang kadung terbakar kecurigaan, provokasi, dan ketakutan yang akut. Di hari yang sama dengan pertemuan itu sendiri, setidaknya lima nyawa melayang. (iwd/iwd)