Kalau menerapkan PPKM, maka dikembalikan lagi dengan cara yang benar, yakni dikembalikan ke kabupaten/kota, tetapi tidak dengan mikro. Sebab PPKM mikro menyebabkan testing rendah. Sementara untuk ketentuan zona, selama ini dinilai tidak dipatuhi daerah terlebih zona merah.
Windhu meminta untuk jangan terus menerus melakukan coba-coba saat pandemi COVID-19. Harus bersungguh-sungguh jika ingin berbasis masyarakat, seperti kampung tangguh. Namun jangan menerapkan PPKM mikro yang membuat zonasi yang justru berbahaya. Sebab, peta zonasi dianggap peta buta.
"Jadi kalau memang mau betul-betul mau di tingkat RT/RW, bukan zonasi seperti ini. Tapi yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat untuk pencegahan, penanganan, sampai sumber dayanya saling membantu karena tidak boleh bergerak," ujarnya.
"Kalau bisa PPKM mikro dengan zonasi ini dibatalkan atau karena sudah terlanjur, dua minggu saja (Diterapkan). Setelah itu kembali ke makro. Dan ketika makro, semua kabupaten/kota di Jawa-Bali dilakukan secara serentak. Zonasi itu harus betul-betul membawa konsekuensi kebijakan dan implementasinya, berdayakan masyarakat bahwa penanganann pandemi gerakan masyarakat," tambahnya.
Dia menegaskan, tracing yang semakin rendah itu seharusnya semakin makro, bukan semakin mikro. Hal itu dinilai keliru secara konseptual dan keilmuan. Sebab tidak memiliki peta, tetapi berani mengambil skala mikro yang justru bisa membahayakan dan menjadi bom waktu.
"Karena RT yang dianggap risiko rendah hijau atau kuning kemudian warganya dibebaskan, longgar. Padahal mungkin di situ adalah zona hijau dan kuning yang palsu, karena testing yang rendah. Artinya ini berbahaya. Kalau mau melakukan mikro lakukan tracing dan testingnya, bukan seperti sekarang. Kita itu tidak pernah mau belajar, maunya sendiri tidak berdasarkan ilmu, tergantung pikirannya dan arahnya ke ekonomi, itu yang keliru," pungkasnya.
(fat/fat)