Pemkab Banyuwangi menetapkan hari jadi dari dasar perang Puputan Bayu sebagai hari jadi Banyuwangi (Harjaba). Pengesahan dilakukan Pemkab dan DPRD Banyuwangi. Sejak itulah Rowo Bayu menjadi pusat perayaan Hari Jadi Banyuwangi.
Selama kepemimpinan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, kegiatan ini dirangkum menjadi Festival Rowo Bayu. Berbagai kegiatan perayaan hingga ritual khusus juga dilakukan diajang yang sudah digelar kali kedua ini. Namun untuk tahun ini, diprediksi hanya kegiatan inti yang dilakukan karena masa pandemi COVID-19.
Pada tahun 2019 lalu kegiatan Festival Rowo Bayu digelar secara semarak. Dan dua tahun lalu, dikaitkan dengan 'KKN Desa Penari'. Acara tersebut diawali dengan malam renungan berisi doa bersama dan tasyakuran hingga renungan suci di kawasan Rowo Bayu, Kecamatan Songgon. Pemilihan Rowo Bayu sebagai tempat perenungan bukan tanpa alasan. Di tempat tersebut, pada rentang waktu 1771-1772 menjadi saksi bisu kegigihan rakyat Blambangan mempertahankan tanah airnya dari gempuran penjajah. Dari rangkaian perjuangan itulah, lantas menjadi momentum lahirnya Kabupaten Banyuwangi.
Tak hanya doa bersama dan tasyakuran, dalam festival ini juga digelar napak tilas. Mereka menyusuri rute sepanjang 10 Km yang menjadi jalur perang Puputan Bayu. Dimulai dari Desa Parangharjo menuju hutan Rowo Bayu yang diyakini menjadi lokasi perang besar tersebut.
Warga Songgon pun menyambut antusias tradisi ini. Sepanjang rute yang dilalui peserta, warga dengan sukarela menyiapkan makanan dan minuman ringan yang bisa dinikmati secara gratis oleh para peserta napak tilas. Makanan tradisional seperti ubi, talas, jagung dan kacang rebus hingga bubur ketan hitam.
"Festival ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Sejak ditemukan tanggal hari jadi Banyuwangi. Dulu hanya ada renungan suci dan napak tilas. Tapi setelah dikemas lagi menjadi beberapa agenda," ujar Dani Wahyudi, tokoh masyarakat Songgon kepada detikcom, Minggu (1/9/2019).
Selain itu, dalam Festival Rowo Bayu juga digelar kirab pusaka. Kirab ini digelar setelah napak tilas. Kirab pusaka perang dan kirab tumpeng hasil bumi juga menempuh 3 KM dan finish di petilasan Prabu Tawangalun, yang berada di wana wisata Rowo Bayu.
"Pusaka yang kita kirab berjumlah ratusan. Mulai dari keris, tombak. Ini semua warisan leluhur yang digunakan saat perang bayu. Kita bersihkan dan kita masukkan lagi ke kotak senjata," tambah Dani.
Di penghujung acara kirab pusaka perang, warga yang ikut dalam rombongan kemudian menggelar tabur dawet kolam Rowo Bayu. Ini sebagai bentuk syukur dan pengharapan warga tentang kesuburan. Mereka percaya kegiatan ini dapat memberikan kesuburan lahan pertanian di sekitar Rowo Bayu.
"Apa yang kami lakukan sebagai bentuk kepercayaan kami tentang bagaimana melestarikan alam dan menjaga alam," pungkasnya.