Ritual dilakukan dengan menyembelih seekor kambing. Kambing yang disembelih akan dipisahkan kaki dan kepalanya. Kemudian kepala dan kaki kambing akan diceburkan ke telaga Rowo Bayu sebagai persembahan.
"Dulu ada kepercayaan masyarakat menyembelih kambing. Kepala dan kaki diceburkan ke telaga. Kemudian warga pun berdoa dengan pembacaan doa-doa untuk mengantar roh prajurit dan pimpinan perang yang gugur," ujar Suwadi, tokoh masyarakat sekitar kepada detikcom, Minggu (7/2/2021).
Puputan Bayu adalah perang rakyat Blambangan (Banyuwangi zaman dulu) melawan VOC pada Abad 18. Lokasi Puputan Bayu adalah di Rowo Bayu. Pada perang itu, puluhan ribu orang gugur melawan penjajah. Perang itu merupakan perang paling besar melawan VOC yang pernah terjadi di Jawa, perang yang mampu membuat jumlah penduduk anjlok. Dua tahun lalu, lokasi ini dikaitkan dengan cerita horor 'KKN Desa Penari'.
Tak ada yang tahu, mengapa pada suatu periode masyarakat sekitar Rowo Bayu mempersembahkan kepala dan kaki kambing ke dalam telaga Rowo Bayu. Namun, suatu ketika kala masyarakat tidak lagi melaksanakan persembahan, ada seorang yang tewas tercebur ke dalam telaga hingga terdengar desas-desus akan Nyai penjaga telaga Rowo Bayu.
"Sejarahnya kan ada anak yang ditemui Nyai Resek yang memberikan tiga bungkusan ke warga. Dibuka ada kaki kambing dan kepala kambing yang busuk," tambahnya.
Namun seiring waktu, tradisi membuang kepala dan kaki kambing sudah tidak dilakukan. Warga masyarakat memilih menggelar selamatan dan istigasah di pinggir telaga. Ini dilakukan sudah hampir 10 tahun.
"Sudah diganti dengan istigasah di pinggir telaga. Ini untuk mendoakan arwah prajurit perang yang gugur saat Puputan Bayu," tambahnya. (fat/fat)