Banyak cerita tentang asal usul Gajah Mada. Salah satu cerita tutur yang berkembang, Gajah Mada berasal dari Lamongan. Selain cerita tutur, di Lamongan juga ada makam yang dipercaya sebagai makam ibunda Gajah Mada.
Ya, salah satu makam yang lebih dikenal masyarakat Lamongan sebagai makam ibunda Gajah Madaitu adalah makam Dewi Andongsari. Makam yang berada di puncak bukit Gunung Ratu Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang ini diyakini masyarakat sekitar sebagai pusara ibunda Gajah Mada.
Cerita tutur masyarakat menyebut, di bukit yang oleh warga dikenal dengan sebutan Gunung Ratu inilah tempat Dewi Andongsari menjalani hari-harinya sampai akhirnya melahirkan Joko Modo atau yang kemudian dikenal sebagai Gajah Mada, sang mahapatih Majapahit yang terkenal dengan sumpah palapanya.
Untuk menuju makam yang sudah direhab oleh Pemkab Lamongan itu peziarah harus menaiki tangga undakan. Ratusan anak tangga harus dilewati untuk sampai di puncak Gunung Ratu. Setelah sekitar 30 menit, pengunjung akan sampai pada puncak bukit.
![]() |
Dari pusat kota Lamongan, situs Gunung Ratu berada pada jarak sekitar 65 kilometer ke arah selatan, sementara untuk akses jalan menuju lokasi juga sudah terbilang bagus dan jalan menuju makam sudah direhab oleh pemerintah.
"Situs Makam Dewi Andongsari ini dikenal oleh masyarakat sebagai makam Ibunda Gajahmada," kata Kepala Desa Sendangrejo, Suwaji saat berbincang dengan wartawan, Sabtu (26/12/2020).
Di bawah pohon besar dan dikelilingi tembok dengan atap tertutup, di sanalah makam Dewi Andongsari. Makam itu membujur ke utara dan selatan, dengan dilengkapi tiga payung warna emas dan juga berhias bendera merah putih. Payung Bali itupun diberikan oleh orang yang pernah berziarah ke makam tersebut.
"Payung itu diberikan oleh orang yang katanya pernah bermimpi didatangi oleh Dewi Andongsari dan percaya kalau petilasan ini adalah benar-benar makam ibunda Gajah Mada meski tidak disebutkan dalam sejarah," tuturnya.
Dulu, aku Suwaji, sebelum dipugar oleh warga dengan diberikan nisan, makam yang berada di kawasan perbukitan ini hanya berupa tumpukan batu. Itulah mengapa makam Dewi Andongsari itu membujur ke utara-selatan layaknya makam Islam lainnya.
"Dari cerita tutur, diketahui Dewi Andongsari diusir dari Majapahit dan kemudian menetap di kawasan bukit ini hingga melahirkan seorang anak yang dikenal oleh warga sekitar dengan nama Joko Modo atau Gajah Mada," ucapnya.
Selain makam Dewi Andongsari, di kompleks pemakaman yang berada di kawasan perbukitan ini juga ada 2 pusara lain berjejeran. Bukan pusara biasa, 2 pusara tersebut dipercaya sebagai pusara dari 2 hewan peliharaan Dewi Andongsari, yaitu kucing Condromowo dan Garangan (Musang) Putih.
![]() |
"Dua pusara tersebut adalah pusara Kucing Condromowo dan Garangan Putih yang berada tepat sebelum masuk ke makam Dewi Andongsari. Keduanya adalah teman dalam pengasingan Dewi Andongsari," terang Pak Kades.
Dikisahkan, ketika Dewi Andongsari sedang keluar untuk mencari air datanglah ular besar yang hendak mencelakai Jaka Mada. Melihat bahaya yang mengancam, Kucing Condromowo dan Garangan Putih pun menghalau ular besar tersebut hingga terjadilah perkelahian antara 2 hewan teman dari Dewi Andongsari ini melawan ular besar yang pada akhirnya dimenangkan oleh 2 hewan peliharaan sang dewi.
"Saat pulang ke rumah, Dewi Andongsari kaget karena isi rumah berantakan dan mendapati 2 hewan kesayangannya berlumuran darah dan ia menduga kalau 2 hewan itu telah mencelakakan anaknya," tuturnya.
Dewi Andongsari kemudian mencabut keris kecilnya dan langsung menusuk mereka sehingga 2 hewan tersebut mati seketika. Namun, usai menusuk 2 hewan tersebut Dewi Andongsari ternyata menemukan kalau putranya masih hidup dan tak jauh dari dua piaraannya, terdapat bangkai ular besar.
"Saat itulah Andongsari mengerti kalau darah yang ada dimulut kucing dan garangan itu adalah darah ular yang mati.
Merasa bersalah, Andongsari memeluk dua abdinya yang telah mati dan tanpa disadari keris kecil yang masih menancap ditubuh piarannya itu juga menusuk tubuhnya," imbuh Suwaji seraya menambahkan kalau Dewi Andongsari kemudian dimakamkan Ki Sidowayah, tokoh masyarakat yang disegani di kawasan Gunung Ratu.
Ki Sidowayah kemudian mengubur jasad Dewi Andongsari beserta hewan piaraannya yang telah mati. Ki Sedowayah kemudian menemukan pakaian adat kebesaran kerajaan yang identik dengan baju seorang ratu. Sejak saat itulah, tambah Suwaji, tempat kediaman Dewi Andongsari disebut Gunung Ratu.
"Anak Dewi Andongsari kemudian dititipkan kepada adik perempuannya seorang janda di Modo sehingga ia dikenal sebagai Joko Modo yang setelah besar dibawa oleh Ki Sedowayah ke Majapahit untuk menjadi prajurit," kata Suwaji mengisahkan.
Selain menjadi lokasi wisata religi, Suwaji mengungkapkan, makam Dewi Andongsari atau Gunung Ratu ini biasanya menjadi tempat untuk ritual sebagai perantara untuk mencapai keinginan mereka. Terkhusus, biasanya dipakai ritual orang-orang yang punya niat untuk meningkatkan derajat, pangkat atau jabatan.
"Biasanya dipakai ritual orang-orang yang punya hajat niat meningkatkan drajat, pangkat atau jabatan," tandasnya.
Sementara, Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Lamongan, Mifta Alamuddin mengakui jika Makam Dewi Andongsari memang menjadi salah satu lokasi wisata religi di Lamongan dengan kisah tuturnya yang berkaitan dengan sang Mahapatih Gajah Mada. Mifta menyebut, selama beberapa tahun terakhir, situs makam itu menjadi tempat wisata religi masyarakat dari berbagai daerah di Jatim dan Jateng.
"Tidak sedikit warga yang berkunjung ke makam tersebut. Tak hanya Lamongan tapi ada juga warga dari daerah Jatim lainnya bahkan sampai Jateng," ucapnya.
Pihaknya, lanjut Mifta, sudah beberapa kalu melakukan rehap terhadap makam ini. Akses jalan yang semula susah dilalui, kini sudah dipaving dan dimuluskan. Disparbud Lamongan, aku Mifta, juga sudah memasukkan Situs Gunung Ratu ini sebagai salah satu Peninggalan Situs Bersejarah sekaligus tempat Wisata sejarah.
"Kami sudah beberapa kali melakukan rehab terhadap makam ini," pungkasnya.