Ketua PWNU Jatim, KH Marzuki Mustamar menilai sebutan itu bergantung pada kondisi yang ada. Masyarakat awam tidak bisa dikendalikan untuk mengekspresikan apa yang mereka lihat.
"Masyarakat awam sulit dikendalikan, mereka kan membahasakan, mengekspresikan, mengungkapkan lewat tulisan (dari) apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan," ujar Marzuki saat dikonfirmasi detikcom, Kamis (17/12/2020).
Marzuki menjelaskan ungkapan-ungkapan tersebut merupakan ekspresi dari kondisi yang ada. Ia menilai, ungkapan itu keluar dari masyarakat ketika ada kelompok yang merasa paling Islam.
"Selagi ada kelompok yang sok paling Islam, lalu perilaku keislaman yang dia klaim sampai melanggar rasa kemanusiaan, bisa membahayakan kerukunan bangsa yang majemuk ini, mencederai hati. Mereka tidak merasa hidup di Nusantara, Indonesia. Nah kita tidak bisa melarang orang awam mengekspresikan situasi seperti itu dengan kata mereka," jelasnya.
Marzuki menyampaikan, bila ada kemauan dari semua pihak untuk bersatu demi NKRI, maka kecil kemungkinan akan muncul masyarakat yang menyebut kadrun atau kampret.
"Nah kalau ada kelompok yang dulu begitu bisa menahan diri adem ayem, bisa berbangsa negara, sudah satu visi misi, apa pun agama keyakinanmu untuk negara, tetap NKRI harga mati. Kalau misalnya sudah seperti kayak itu, tidak ada kayak kemarin-kemarin, tentu masyarakat mesti akan diam dan tidak membuat kalimat seperti itu. Dan sekali lagi masyarakat awam sulit dikendalikan, mereka kan membahasakan, mengekspresikan, mengungkapkan lewat tulisan, apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan," lanjutnya.
Marzuki menyampaikan PWNU Jatim tidak bisa melarang, menyuruh, atau memprovokasi masyarakat untuk berucap demikian. Karena itu ekspresi mereka. Pada dasarnya, untuk perbuatan kebaikan, PWNU menyetujuinya tapi dengan catatan semua pihak bersama-sama untuk NKRI.
"Kami sangat setuju, tapi ayo bareng, dari semua pihak. Kalau Islam di NU dan Muhammadiyah, ada berbeda pendapat tapi tidak saling mengkadrunkan kan. Untuk NKRI sama mendukung keutuhan bangsa," ungkapnya.
"Kami tidak bisa menanggapi. Kami tidak bisa menyuruh juga. Tidak memprovokasi, tidak melarang juga. Tergantung situasi, tergantung mereka, sesuai ekspresi mereka. Terserah masyarakat, kami tidak menanggapi," pungkasnya.