Surabaya - Separuh warga Kota Pahlawan tidak hadir ke TPS dan menggunakan hak pilih atau golput di
Pilwali Surabaya 2020, Rabu (9/12/2020). Kenapa hal itu bisa terjadi?
Pakar psikologi politik Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Andik Matulessy menyebut ada dua faktor yang membuat angka golput tinggi di Pilwali Surabaya. Menurutnya dua faktor itu merupakan hasil survei yang ia lakukan sebelum pelaksanaan Pilkada.
"Ada beberapa penyebab tingginya angka golput berdasarkan sebuah survei yang saya lakukan sebelum pilkada di beberapa daerah di Jatim menunjukkan bahwa, masih ada yang menjawab tidak akan berpartisipasi dalam Pilkada," ujar Andik kepada detikcom saat dihubungi, Kamis (10/12/2020).
Dua faktor itu, lanjut Andik, yakni pertama terkait dengan pilihan calon. Dalam survei itu didapatkan hasil bahwa siapapun yang terpilih tidak punya pengaruh atau dampak apapun. Selain itu, golput tinggi karena pemilih tidak mempunyai gambaran jelas siapa yang akan dipilih.
"Pertama, terkait dengan calon, tidak memiliki gambaran tentang calon yang akan dipilih, banyak janji calon di pilkada yang tidak terealisasi, apapun hasil pilkada tidak berpengaruh," jelas Andik.
Sedangkan faktor kedua, Andik menyebut tingginya angka golput karena pelaksanaan pilkada digelar di masa
pandemi COVID-19. Karena hal itu, pemilih merasa takut dan khawatir terhadap penularan saat hadir ke TPS.
"Kedua, masalah kesehatan. Masih ada ketakutan dengan COVID-19. Apalagi ada penambahan jumlah terkonfirmasi," terang alumnus Fakultas Psikologi UGM itu.
"Jadi sebenarnya bisa disimpulkan bahwa political trust menjadi dasar dari seseorang ikut dalam memilih atau tidak," tambah Andik.
Menurut Andik, jika orang sudah tidak memiliki political trust, maka pemilih akan cenderung tidak menggunakan hak suaranya atau golput. Sedangkan political trus seseorang itu sendiri dipengaruhi karena ketidakpercayaan janji-janji yang diumbar pasangan calon.
"Orang yang tidak memiliki ketidakpercayaan politik atau political untrust karena sudah tidak percaya dengan sistem politik, baik terkait dengan calon yang dianggap tidak dipercaya kompetensi dan janji-janjiny. Jadi siapapun yang terpilih tidak memberikan dampak positif maupun masih tidak percaya dengan kesiapan Panitia Pemilu untuk mempersiapkan prosedur kesehatan yang memadai selama melakukan coblosan," pungkasnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini