Terlebih pada Desember ini akan ada liburan akhir tahun, cuti bersama, Nataru, dan pilkada serentak yang berpotensi menimbulkan kerumunan dan penyebaran virus.
Menurut Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr dr M Atoillah Isfandi MKes, kenaikan kasus COVID-19 perlu diwaspadai. Namun bukan berati kelonjakan kasus itu sebagai penanda utama puncak pandemi di Indonesia.
Hal ini terjadi karena data atau akumulasi kasus harian Indonesia yang tidak real time dan kurang valid. Laporan harian yang diumumkan harusnya kasus yang dilaporkan dan bertambah pada hari itu, sedangkan di Indonesia data yang dihimpun mengikuti arus laporan daerah yang seringkali mekanismenya berbeda satu sama lain.
"Jawa Timur sendiri sering mengalami tarik ulur data yang mengganggu akumulasi data nasional. Seringkali data yang dihimpun dalam bentuk 'cicilan' yang tidak setiap hari disetor. "Ada banyak alasan, seperti agar terlihat stabil. Tapi hal tersebut akan sangat merugikan dalam pengambilan keputusan. Harus diingat kalau keputusan yang tepat datang dari data yang tepat dan valid," kata Wakil Dekan II FKM Unair ini, Rabu (2/12/2020).
Athoillah mengatakan perbedaan data antara daerah dan pusat juga sering terjadi akibat perdebatan asal kasus positif. Hal tersebut umumnya terjadi saat pasien positif memiliki domisili, daerah asal, atau tempat perawatan yang berbeda-beda.
Athoillah meyakini meski data menunjukkan kasus melonjak, namun tidak menjadi acuan puncak pandemi di Indonesia. Karena selain data yang non-realtime, bisa jadi data yang dilaporkan pada hari tertentu merupakan komponen yang sudah diperiksa bulan lalu namun baru dilaporkan pada hari tersebut.
Akan tetapi meski tidak dapat dijadikan acuan, harus diakui bahwa terjadi peningkatan kasus COVID-19 pasca long weekend. Jika mengikuti timeline, Athoillah melihat long weekend akan cenderung diikuti dengan peningkatan kasus.
"Fakta ini juga didukung dengan banyaknya transmisi virus yang terjadi melalui keluarga atau kerabat. Maka dari itu jadwal liburan dan kumpul keluarga masih berpotensi besar meningkatkan jumlah kasus baru," jelasnya.
Terlebih akhir tahun ini ditutup dengan Nataru dan pilkada serentak yang akan digelar bisa berpotensi pada kenaikan kasus. Maka, Athoillah mengingatkan agar pemerintah dan masyarakat bijak dalam bertindak dan tidak mengabaikan protokol kesehatan.
"Pandemi akan cepat selesai di negara atau daerah yang disiplin, seperti halnya Australia, New Zealand, atau China. Oleh karenanya jika ingin kasus segera melambat, sistem dan kebijakan harus lebih tertata rapi dengan tingkat disiplin yang tinggi," pungkasnya.