Kaum Perempuan di Banyuwangi Protes Spanduk Black Campaign Soal Gender

Kaum Perempuan di Banyuwangi Protes Spanduk Black Campaign Soal Gender

Ardian Fanani - detikNews
Senin, 09 Nov 2020 19:40 WIB
black campaign di banyuwangi
Spanduk black campaign di Banyuwangi (Foto: Ardian Fanani)
Banyuwangi -

Spanduk yang diduga black campaign di Banyuwangi diprotes oleh kaum perempuan di Banyuwangi. Mereka meminta penyelenggara Pilkada dan aparat kepolisian mengusut tuntas kasus diskriminasi terhadap kesetaraan gender tersebut.

Anggota DPRD Banyuwangi Ficky Septalinda mengatakan tidak ada aturan larangan perempuan ikut berperan serta dalam urusan panggung politik. Dalam pencalonan legislatif, diamanatkan 30 persen kuota perempuan wajib terpenuhi. Begitupun juga di Pesta demokrasi Pilbup juga tak ada aturan pelarangan perempuan mendaftar dan ikut tampil di pesta pilkada.

"Pilbup tidak adu tenaga atau otot, tapi adu visi misi untuk membangun Banyuwangi. Tidak zamannya untuk kampanye hitam dengan mengorbankan derajat perempuan," ujar Ficky kepada detikcom, Senin (9/11/2020).

Ficky menilai spanduk yang berisikan black campaign ini sengaja dibuat oleh oknum-oknum yang ingin merusak Pilbup Banyuwangi 2020. Sebab hal ini membuat keresahan masyarakat, khususnya kaum perempuan di Banyuwangi.

"Harusnya Panwaslu Kecamatan dan Bawaslu segera bertindak tegas melakukan penertiban atau sosialisasi agar tidak memasang spanduk atau reklame yang bukan dalam rangka kampanye calon atau sosialisai Pilkada," ujarnya.

Saat ini, sudah banyak kepala daerah perempuan yang dipercaya oleh rakyat untuk memimpin Kabupaten, Kota ataupun Provinsi. Tak hanya itu, jabatan menteri ataupun pimpinan di pusat pun juga sama.

"Tentu ini kemunduran politik bagi oknum-oknum yang sengaja menghalalkan segala cara untuk menang. Sudah banyak pejabat perempuan. Ini membuktikan jika negara menjamin hak politik perempuan, baik maju dalam pilkada ataupun kegiatan politik lainnya," pungkasnya.

Hal yang sama diungkapkan oleh Direktur Rumah baca Ainina, Emi Hidayati, yang mengutuk keras aksi pemasangan spanduk yang tak menghormati kesetaraan gender di kontestasi politik tersebut.

"Hari ini Perdebatan tentang gender sudah tidak mendasar. Ketimpangan gender akibat dari cap cap sosial yang mengorbankan salah satu jenis kelamin itulah sebenarnya awal dari kemiskinan dan awal dari penghancuran hak-hak asasi manusia," ujar Emi kepada wartawan.

Siapapun warga negara yang mampu mengelola pemerintahan demi kepentingan masyarakat secara luas, kata Emi, layak untuk mengikuti kontestasi tanpa terkecuali.

"Berbeda dengan konteks "imam berjemaah" seperti salat yang sudah ditegaskan. Clear agama memandang warga negara itu adalah laki laki dan perempuan, pengelola kepentingan kepentingan publik itu juga diperbolehkan dilakukan perempuan," tegas Emi.

Menurut Emi, isu kehawatiran ketidakmampuan seorang perempuan dalam mengelola pemerintahan kerap kali muncul pada wilayah-wilayah politik yang tidak dewasa.

"Banyak kaum wanita yang menjadi pengusaha, guru, dokter, buruh pabrik, sopir bus, sopir truk, pilot, anggota DPR, kepala dinas, dan mereka bekerja dalam kesalehannya dan mereka mampu," tukas Emi.

Halaman 2 dari 2
(iwd/iwd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.