Demo menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang terjadi di beberapa daerah di Jatim dikhawatirkan menjadi ajang penularan COVID-19. Satgas COVID-19 Jawa Timur masih memonitor tren kenaikan kasus dalam beberapa hari terakhir.
"Sampai hari ini belum termonitor kenaikan kasus. Masih seperti kemarin rentangnya di angka 300-an kasus," kata Anggota Satgas COVID-19 Jawa Timur dr Makhyan Jibril saat dikonfirmasi detikcom, Senin (12/10/2020).
Menurut perhitungan Pakar Epidemiologi, Jibril menyebut kenaikan kasus karena klaster atau peristiwa tertentu akan muncul setelah seminggu dari awal penyebaran. Semisal aksi dilakukan pada Kamis (8/10), maka kasus akan muncul dan tercatat pada Kamis (15/10).
"Kalau menurut epidemiologi, kemungkinan kenaikan kasus baru akan muncul satu minggu setelah kontak terjadi, karena ada masa inkubasi seminggu," terangnya.
Saat ini Satgas COVID-19 Jatim masih memonitor tren kenaikkan kasus. Demo menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja sendiri berlangsung selama tiga hari di Jatim. Yakni mulai Selasa (6/10) hingga puncaknya Kamis (8/10).
Kasus COVID-19 di Jatim pasca demonstrasi tolak UU Omnibus Law berada di kisaran angka 300-an kasus. Tercatat pada Jumat (9/10) ada 310 kasus baru. Lalu Sabtu (10/10) ada 310 kasus baru juga dan pada Minggu (11/10) ada 269 kasus baru.
"Kita terus monitor tren kasusnya di Jatim," imbuh Jibril.
Pakar Epidemologi dari Universitas Airlangga, dr Windhu Purnomo mengatakan demo yang dilakukan secara masif di Jatim bisa berdampak pada penularan COVID-19.
"Tentu saja demo massif beberapa hari ini sangat berisiko tinggi terjadinya penularan COVID-19 di kalangan demonstran," kata Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga, Windhu Purnomo saat dikonfirmasi detikcom, Sabtu (10/10/2020).
Windhu melihat para demonstran banyak yang tidak menaaati protokol kesehatan. Seperti berkerumun, tidak memakai masker dengan benar hingga tidak memakai masker sama sekali. Selain itu, para demonstran juga tidak mencuci tangan selama aksi.
"Karena mereka semua jelas berkerumun dan sebagian cukup besar tidak memakai masker dengan benar selama aksi, apalagi cuci tangan," jelasnya.
Selain menjadi ancaman penyebaran COVID-19 bagi para demonstran, Windhu juga menyebut aparat keamanan bisa berpotensi tertular virus Corona. Karena mereka terlibat untuk mengamankan di lapangan. Sedangkan kondisi di lapangan saat aksi hingga ricuh berkerumun tanpa jarak.
"Tidak hanya demonstran. Tapi dan para aparat keamanan, karena mereka semua jelas berkerumun," imbuhnya.
Windhu menambahkan, aksi dengan ribuan massa itu tidak menutup kemungkinan munculnya klaster demonstran.
"Berpotensi karena mereka semua berkerumun. Sebagian besar juga tidak memakai masker dengan benar. Ya garis besarnya tidak menaati protokol kesehatan," pungkasnya.