Ritual tedhak siten merupakan tradisi leluhur yang hampir langka keberadaannya. Namun seorang milenial Blitar melestarikannya dengan memadukan doa-doa Islam sehingga bisa diterima semua kalangan.
Seperti yang dilakukan keluarga Gigih Mardana, warga di Jalan Kalasan Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. Pasangan milenial ini, tetap melakukan ritual tedhak siten ketika balita mereka, Muhammad Fachry Athaillah Mardana, mulai belajar berjalan.
Ritual tedhak siten berasal dari dua frasa bahasa Jawa. Tedhak artinya menginjak dan sinten artinya tanah. Jadi, ini merupakan ritual ketika balita mulai bisa belajar berjalan. Tradisi ini dilaksanakan sebagai penghormatan kepada bumi tempat anak belajar menginjakkan kaki.
Karena ritual, maka ada beberapa tahapan yang dijalankan secara runtut. Pertama, membersihkan kaki balita dengan air rendaman beragam jenis bunga. Saat menyiramkan air bunga, sang ayah mengucapkan Bismillah dan Selawat Nabi dengan lanjutan doa agar si anak tumbuh sehat, kuat dan sholeh.
Kemudian menginjak tujuh macam warna jadah. Yaitu hitam, kuning, hijau, biru, merah, putih, jingga. Jadah ini dibuat dari beras ketan dicampur dengan parutan kelapa dan santan. Tiap warna jadah mengandung makna filosofi yang dalam.
Warna merah , memiliki arti keberanian, si anak memiliki keberanian untuk menjalani kehidupannya kelak. Kemudian menginjak jadah warna putih, si anak diharapkan dapat memiliki kesucian hati kelak di kemudian hari. Dilanjutkan warna hitam, agar anak memiliki kecerdasan.
Warna Kuning, untuk kekuatan anak dalam menjalani hidupnya. Lalu, warna hitam memiliki arti kecerdasan, setelah memijak warna tersebut diharapkan si bayi dapat memiliki kecerdasan di kemudian hari. Kemudian warna biru bermakna kesetiaan.
Warna merah maroon cinta kasih dan terakhir warna ungu yang bermakna memiliki arti ketenangan, di masa yang akan datang si anak dapat bersikap tenang dalam pengambilan keputusan.
Digendong sang nenek, balita Fachry kemudian menapak tanah pertama kali dan menaiki tangga yang terbuat dari batang tebu. Dalam filosofi Jawa, batang tebu ini akronim dari antepeng kalbu atau kemantapan jiwa.
"Naik tangga tebu ini, semoga adik Fachry bisa seperti kesatria. Yang tangguh dan bertanggung jawab," jelas Gigih kepada detikcom, Senin (21/9/2020).
Ritual dilanjutkan dengan memasukkan anak ke dalam kurungan. Ini simbol jika dalam kehidupan kelak anak akan dihadapkan pada berbagai jenis pekerjaan. Di dalam kurungan, disediakan nampan yang berisi uang, buku, mainan, obat dan beragam benda lainnya.
"Kalau nanti yang dipegang uang, berarti kelak si anak pandai cari uang. Kalau buku, berarti pintar cari ilmu, kalau mainan berarti pandai main bola misalnya," ungkapnya.
Dan kali ini, Fachry memilih mengambil uang. Semua anak-anak yang diundang langsung bertepuk tangan dengan riang, karena menandakan kelak Fachry akan pandai mencari uang.
Sang ibu kemudian membagikan yang tersebut kepada anak-anak yang diundang. Karena masa pandemi, maka uang receh ditaruh di atas nampan, dan anak-anak disuruh mengambil semua secara merata.
Fachry kemudian dimandikan dengan air bunga oleh ayah dan neneknya. Selawat Nabi disenandungkan anak-anak agar Fachry tidak menangis ketika dimandikan. Pun ketika prosesi memilih baju. Pilihan baju ke tujuh, semua anak suka dan dipakaikan ke badan Fachry. Balita itu terlihat sangat lucu dengan baju adat Jawa lengkap dengan blangkonnya.
![]() |
"Baju ke tujuh dipilih sebagai simbol adik Fachry hidupnya makmur dan bermanfaat bagi agama, lingkungan dan negaranya," imbuh ASN di Pemkot Blitar ini.
Terakhir yakni melepas ayam. Secara keseluruhan, ritual ini bermakna untuk mengajarkan anak tentang konsep kemandirian, tanggung jawab, tangguh dalam menghadapi persoalan, serta bersifat dermawan terhadap sesamanya
Gigih adalah kaum milenial yang masih merawat tradisi leluhur ini. Baginya ritual tedhak siten berisi ajaran-ajaran dan doa pengharapan yang baik bagi kehidupan anaknya kelak. Selain itu, dengan menggelar acara ini, dia bisa mengundang dan mengumpulkan saudara dan para tetangga sehingga silaturahmi terjaga dengan kuat.
"Ini wujud syukur kami, anak tumbuh sehat dan kuat. Kami ingin nguri-uri tradisi yang adi luhung dari para leluhur, juga silaturahmi dengan keluarga. Namun tetap melaksanakan protokoler kesehatan. Karena kami yakin, dalam setiap prosesinya terkandung ajaran baik dan doa harapan kebaikan bagi kehidupan anak kami kelak," pungkasnya.