Dokter Sebut Kematian Pasien COVID-19 di Surabaya Tinggi karena Kurang Ventilator

Dokter Sebut Kematian Pasien COVID-19 di Surabaya Tinggi karena Kurang Ventilator

Esti Widiyana - detikNews
Selasa, 28 Jul 2020 18:31 WIB
Penambahan 18 bed isolasi bertekanan negatif di Rumah Sakit Islam (RSI) Ahmad Yani Surabaya telah rampung. Jika tak ada kendala, 18 bed tersebut sudah bisa difungsikan untuk merawat pasien Corona.
Ruang isolasi di RSIS Ahmad Yani (Foto: dok. Istimewa)
Surabaya -

Berdasarkan data BNPB per 26 Juli, angka kematian pasien COVID-19 di Surabaya tertinggi di Indonesia, yakni 803 orang. Lalu apa penyebabnya?

Sementara itu, di laman https://lawancovid-19.surabaya.go.id/, berdasarkan data hingga 27 Juli, total ada 748 pasien COVID-19 di Surabaya yang meninggal.

Menurut Direktur RSIS Ahmad Yani, dr Samsul Arifin, MARS, salah satu penyebab tingginya angka kematian dalam kasus COVID-19 di Surabaya adalah terbatasnya ventilator. Sebab, banyak pasien yang membutuhkan alat bantu pernapasan.

"Di RS biasanya jumlah ventilator terbatas, sedangkan yang membutuhkan banyak. Jadi salah satu faktor penyebab kematian tinggi di RS. Biasanya jatuh pakai ventilator pasti diawali dengan gejala awal gagal napas," kata Samsul saat dihubungi detikcom, Selasa (28/7/2020).

"Kalau sudah terlambat diberi ventilator, biasanya banyak gagalnya. Di RS mana pun, saya dapat laporan 82 persen yang pakai ventilator meninggal karena keterlambatan penggunaan ventilator. Karena orang dikirim dalam keadaan gagal napas," imbuhnya.

Terlebih, lanjutnya, jika pasien COVID-19 yang ditangani memiliki penyakit komorbid, seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas. Maka penyakit komorbid itu harus diobati dengan serius.

"Karena salah satu penyebab daya tahan tubuh rendah. Karena banyak kematian karena gagal napas. Jadi harus diperhatikan yang punya komorbid itu," lanjutnya.

Tonton video '5 Provinsi Kasus Corona Tertinggi: Jatim, DKI, Sulsel, Jateng, Jabar':

[Gambas:Video 20detik]



Karena itu, tambah Samsul, upaya yang harus dilakukan adalah meningkatkan early warning system (EWS). Atau rangkaian sistem komunikasi informasi yang dimulai dari deteksi awal dan pengambilan keputusan selanjutnya harus kuat. Jika terlambat ditangani, pasien tidak tertolong.

"Jadi deteksi dini agar tidak jatuh dalam gagal napas. Karena, kalau sudah gagal napas, pasti butuh ventilator dan ventilator terbatas. Kalau gagal napas antre pakai ventilator dan karena keterlambatan itu membuat pasien meninggal," tambahnya.

Selain ventilator, kendala lainnya adalah monitor untuk mengecek pernapasan dan tekanan darah. Samsul mengatakan, jika sudah punya monitor, minimal bisa mendeteksi pasien.

"Walaupun kurang ventilator dan kondisi pasien menurun, langsung bisa dirujuk, sehingga sistem rujukan bisa berjalan juga," lanjutnya.

Solusinya, ia menjelaskan, harus ada sinergi dan kolaborasi antar-RS yang ada di Surabaya. Kemudian mapping RS mana saja yang memiliki ventilator kosong, sehingga pasien dengan kondisi berat bisa dirujuk.

"Supaya tahu kemampuannya, kita tidak memaksakan. RS harus mapping kemampuannya, sehingga sistem rujukan bisa lebih lancar. Jangan terlambat menangani pasien. Kalau dijalankan, pasien bisa tertolong dengan cepat. Meskipun yang menggunakan ventilator itu kemungkinan hidup kecil, RS tetap berusaha dan mengupayakan agar tertolong," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(sun/bdh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.