Aksi unjuk rasa diawali dengan menggelar orasi di depan Polres Tulungagung. Massa menyuarakan penolakan berhadap maraknya tambang pasir liar di sepanjang aliran Sungai Brantas di Tulungagung. Sebab penambangan pasir secara liar dinilai tidak memperhatikan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Akibatnya, saat ini terjadi erosi yang cukup parah, bahkan para aktivis ini mengaku menerima beberapa laporan warga terkait adanya kerusakan rumah serta tanah yang tergerus di sekitar daerah aliran sungai.
Usai berorasi, pendemo sempat meletakkan batang pohon pisang di depan Mapolres Tulungagung. Ini sebagai simbol rusaknya alam di sekitar Sungai Brantas.
"Kalau biasanya di desa jika ada jalan yang rusak maka ditanami pohon pisang, hari ini kita tanami pohon pisang di Polres Tulungagung," teriak salah seorang orator.
Usai berunjukrasa di kantor polisi, massa melakukan aksi jalan kaki menuju gedung DPRD Tulungagung sambil membentangkan spanduk bertuliskan "alamku rusak".
Koordinator aksi Wicaksono mengatakan dalam aksi unjuk rasa tersebut pihaknya mengeluarkan tiga tuntutan yakni penuntasan kasus kerusakan lingkungan, penghentian intimidasi terhadap para aktivis lingkungan, serta pembersihan mafia tambang pasir.
Pihaknya mengancam menggelar aksi yang lebih besar dengan mendatangkan massa yang lebih banyak, jika tuntutannya sama sekali tidak diindahkan oleh aparat terkait.
"Jadi pokok permasalahan yang kami bawa hari ini adalah kerusakan lingkungan di bantaran Sungai Brantas. Yang mana ada beberapa rumah ada yang roboh dikarenakan tambang liar," kata Wicaksono, Senin (27/7/2020).
Di depan kantor dewan, para aktivis lingkungan tersebut kembali menyuarakan berbagai tuntutan terkait kerusakan lingkungan akibat tambang pasir liar. Para peserta aksi yang kesal karena tidak direspons anggota dewan, akhirnya melemparkan sejumlah telur ke kawasan DPRD Tulungagung.
"Ini bentuk kekecewaan kami, karena kami sebelumnya pernah mengirimkan surat ke dewan, tapi tidak ada tanggapan," ujarnya.
Mereka juga merasa jengkel kepada para wakil rakyat, lantaran terkesan melempar tanggung jawab.
Sementara itu Ketua Komisi D DPRD Tulungagung Abdulah Ali Munib, mengaku maraknya tambang ilegal dan kerusakan lingkungan bukan wewenang dari DPRD Tulungagung maupun Pemerintah Daerah Tulungagung, karena berada di bawah kewenangan Provinsi Jawa Timur.
"Bukan kewenangan DPRD Tulungagung atau LH Tulungagung, tapi balai besar Surabaya," katanya.
Munib mengklaim pihaknya hanya memiliki kapasitas untuk menyerukan agar tambang pasir ilegal ditutup. Hal itupun pernah dilakukan, namun tidak maksimal.
"Kami menyerukan saat itu memang ditutup, tapi beberapa hari kemudian buka lagi. Jika sesuatu hal yang ilegal dijalankan, di balik itu pasti ada sesuatu," ujarnya.
Pihaknya mengaku mendukung jika tambang pasir ilegal tersebut ditutup, mengingat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dinilai cukup parah.
"Cuma yang nutup nggak tahu saya, kok sampai begitu parah (dampaknya)," tandasnya.
(iwd/iwd)